Saturday, June 16, 2007

Kekonyolan penuai tragedi dahsyat?

Posted: 3 April 2007

Assalaamu 'alaikum,

Siang itu di pertengahan Maret lalu, 30 menit sudah debur ombak lautan lumpur terasa sunyi. Tiadanya riak ombak dari pusat semburan ke tepian tanggul, ditambah meningkatnya kadar gas beracun H2S, meyakinkan tim ahli dari ITB bahwa letupan lumpur memang terhenti, dan boleh jadi ini adalah efek langsung dari 300 bola beton berberat masing-masing puluhan kilogram, dengan total biaya 4,2 milyar rupiah, yang dicelupkan ke dalam sumur pusat semburan lumpur. Wajah berseri-seri penuh harapan mungkin terlintas di wajah mereka, bersama satu niatan untuk menyelesaikan tragedi konyol anak bangsa. 500 bola beton pun dengan serta merta dipesan kembali.

Untaian bola beton, yang buat saya pribadi agak sedikit membingungkan fungsinya. Saya tanyakan kepada seorang kawan yang ahli teknik sipil, jawabnya masuk akal. Bola beton ini diharapkan dapat menyumbat semburan lumpur apabila dimampatkan ke dalam sumur. Pemampatan bola beton sedikit banyak akan menahan tekanan sekaligus volume lumpur dari bawah, sehingga setelah dihujani tumpukan bola beton, maka tujuan akhir tersumbatnya semburan lumpur akan tercapai.

Apa iya begitu, pikir saya dalam hati. Dalam logika saya, bukankah kita tak tahu apa bentuk pusat lumpur di dalam perut bumi itu. Boleh jadi di atasnya memang keluar bagaikan pipa memanjang seperti sumur. Namun siapa tau bawahnya itu adalah rongga raksasa. Dan bukankah bola beton ini cuma sekedar dicemplungkan, dan tidak ditahan sama sekali tali bola itu, maksudnya ujung tali satunya tidak diikatkan dengan apa pun di permukaan bumi?

Andaikan di bawah sana berupa rongga, tentunya bola beton tersebut akan lenyap ditelan rongga raksasa perut bumi tanpa punya arti apa pun. Wallahu 'alam bissawab. Toh, berupaya seperti ini, masih lebih baik daripada tidak sama sekali. Paling gak ada usaha, urusan sia-sia atau gak, itu lain masalah. Tentunya orang pintar kita ini sudah punya data dan perhitungan tersendiri sehingga ide brilyan bola beton pun, meski berharga milyaran rupiah, muncul bukan tanpa alasan.

Namun apa lacur, 3 minggu berlalu sudah, yang ada kini tanggul penahan sudah tak sanggup menahan luberan lumpur yang ternyata volumenya tak kunjung surut. Berhenti 30 menit waktu dulu, bagaikan cuma hiburan belaka yang tanpa makna. Kini lumpur telah menggenangi jalan raya Siring, persis setelah pintu keluar tol. Rel KA pun telah tenggelam dan hampir pasti tidak akan dapat digunakan lagi. Jalan tol sudah lama jadi lautan lumpur, dan tak dapat dilalui sama sekali. Bahkan pipa gas Pertamina pun patah dan meledak karena tanah di bawahnya kopong akibat tersedot terbawa lumpur, sedangkan beban lumpur di atasnya makin bertambah berat, hingga sang pipa pun retak dan meledak.

Agustus tahun lalu saya sempat mengunjungi daerah ini dan melalui jalan raya Siring/Porong. Di situ saya berhenti sejenak, dan naik ke atas tanggul setinggi 3 meter dari bibir jalan. Genangan lumpur, kata pengojek di situ, di balaik tanggul sudah berkedalaman 10 meter. Hamparannya luas berhektar-hektar, dan di seberang sana tampak kepulan asap putih tebal, pertanda lumpur panas terus-menerus keluar dari dalam perut bumi. Dengan dipandu oleh seorang tukang ojek, saya pun berkeliling kolam maha raksasa ini, berkunjung ke perumahan sekitar dan juga ke tempat pembuangan lumpur di tepian Kali Porong atau Sungai Brantas.

Siapa bilang daerah di sekitar situ desa? Namanya memang desa, tapi rumahnya hampir semuanya terbuat dari batu bata. Pasar Porong di sekitar situ juga adalah pasar yang ramai. Ini semacam kota, bisa diibaratkan sekelas Cibinong atau Cileungsi. Penduduknya pun padat. Dari atas tanggul juga terlihat sisa-sisa rumah mewah bertingkat yang tenggelam lumpur, bangunan pabrik dll. Jelas sudah ini bukan desa dalam gambaran kita yang rumahnya terbuat dari gedek dan berlantaikan tanah.

Saat saya ke sana, konon katanya rumah di sekitar situ sudah mulai di data luasnya. Saat itu masih musim kemarau. Di musim hujan diperkirakan volume air hujan yang jatuh akan membuat tanggul tak mampu lagi menahan luapan lumpur, sehingga rumah-rumah di sekitar situ tinggal menunggu waktu saja untuk digenangi.

Sang pengojek pun berkisah dirinya cuma tinggal di tempat penampungan, tanpa kerja. Dulu saya kerja di pabrik itu, tunjuknya ke bangunan pabrik yang sudah tenggelam. Kini semuanya jadi serba susah seraya menumpahkan kekesalan pada apa yang namanya Lapindo. Konon 30% warga pengungsi kini menjadi stress setelah kehilangan harta bendanya. Daerah di sana memang tergolong lumayan dulunya. Sawahnya luas dan subur. Di situ banyak berdiri pabrik pula, serta lokasinya di perlintasan jalan utama Surabaya-Banyuwangi.

Kini semuanya bagaikan neraka. Katanya lagi, orang sana curiga, mereka memang hendak disingkirkan karena daerah situ memang kaya mineral, ya itu dengan cara digelontorkan lumpur panas. Mati-mati mereka menuntut ganti rugi tinggi, yang kita semua tau, akhirnya diganti 2,5 juta per m2 untuk tanah dan bangunan, suatu jumlah yang sebenarnya "terlalu banyak" untuk suatu kawasan yang bukan kota besar.

Saya pun sempat melihat tempat pembuangan lumpur panas, yang katanya sudah disarikan. Omong kosong, umpat saya dalam hati. Wong di situ terlihat jelas, air yang dibuang ke sungai masih begitu kental, dan masih panas dengan asapnya yang mengepul. Ini jadi satu masalah lingkungan hidup lagi, apalagi andaikan dialirkan ke laut. Namun Pak Menteri bilang, we got no choice, dan lebih baik menyelamatkan nyawa manusia daripada alam, toh bukankah rencananya yang akan dibuang itu dikelola lebih baik dulu?

Entahlah, hanya hati ini jadi miris melihat endapan lumpur yang bakal mendangkalkan sungai Brantas yang masih bening itu. Konon katanya, sewaktu pertama kali lumpur dibuang ke sungai, seekor kura-kura raksasa, dan 5 ekor buaya besar naik ke daratan. Kini kesemuanya telah diserahkan ke KB Surabaya.

Kisah lumpur ini menyisakan cerita sedih, yang sampai kini pun tak kunjung usai. Ibaratnya kita sudah kehilangan akal bagaimana untuk bisa menyelesaikannya. Andaikan di situ adalah hutan, tidak akan jadi masalah. Namun masalahnya di situ adalah perkampungan penduduk yang padat. Kemana mereka harus diungsikan? Rasanya kini kita hampir putus asa untuk tetap membiarkan lumpur terus mengucur dari dalam perut bumi, dan konon baru akan berhenti 30 tahun kemudian. Pertanyaan dan kemungkinan yang tersisa dari targedi ini ada 2:

1. Apakah tragedi ini merupakan buah dari sifat kita yang tamak dan doyan korupsi?

Suatu hal yang ridiculous bahwa perusahaan berpengalaman sekelas Lapindo bisa dengan konyolnya melakukan kecerobohan dalam casing untuk rig di pengeboran ini. Tak sedikit yang menuduh ini kebiasaan orang kita yang korupsi dengan jalan mencari bahan murah di bawah spesifikasi standar, demi menghemat uang. Ternyata barang murah out of spec itu memicu tragedi yang di luar dugaan.

Tapi kenapa kasus ini akan bergulir, dan apakah hanya orang-orang kecil sekelas operator dan teknisi lapangan saja yang akan ditumbalkan? Rasanya sulit dicerna, bahwa orang lapangan itu berani memutuskan sesuatu yang sangat risky, tanpa ada perintah langsung dari atasan. Meski memerlukan investigasi lebih lanjut, kalau memang penyebabnya barang out of spec, ini bisa disebut pula keknyolan yang terencana dan disengaja, ditambahkan kebodohan karena tak dipikirkan akibat jauh dari kekyonyolan itu.

2. Apakah tragedi ini awalnya memang di set demikian, namun akhirnya bergulir tanpa arah karena Allah SWT punya kuasa?

Ada selentingan berita bahwa daerah Sidoarjo itu daerah merah, dalam artian memiliki kandungan mineral yang luar biasa. Lihat saja di sana, tambang minyak ada di beberapa tempat. Hal ini disadari oleh beberapa pihak, namun, gimana bisa dikelola andaikan di situ telah terbentuk perkampungan yang padat? Andaikan masyarakat tau di bawah kolong tempat tidur mereka kaya akan minyak, tentulah andai disuruh pergi, masyarakat akan meninggi harga tanah dan rumah mereka, karena bernilai ekonomis.

Salah satu jalan menyuruh mereka pergi dengan murah, adalah dengan menggelontorkan lumpur. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, mereka harus hengkang dari situ. Lumayan tanah murah didapat akhirnya.

Tudingan yang masih memerlukan pembuktian ini, memang berkembang di masyarakat. jangan heran, sang tukang ojek pun pandai berkata demikian. Umpatnya, kita semua tau tanah di sini kaya minyak. Enak aja nyuruh kita pergi dengan harga murah. Mana yang benar, entahlah wallahu 'alam. Yang jelas memang kenyataannya lumpur itu sudah membuat mereka menderita lahir dan bathin.

Hal sangat disayangkan juga ada 2:

1. Kerugian akibat tragedi lumpur ini diperkirakan sekitar 33 trilyun rupiah, dan still counting. Pabrik yang tutup, sawah yang tak mungkin ditanami kembali, stress karena derita, kemacetan jalur distribusi, ditutupnya jalan tol dll. Bahkan kini beberapa investor asing, terutama yang berlokasi di Rembang dll, sudah mengancam akan hengkang alias merelokasi pabriknya ke negara lain. Hal logistik adalah hal yang vital, dan mereka gak melihat skema penyelesaian yang jelas, so mana bisa tahun.

2. Tersia-sianya kekayaan alam kita tersebut. Andaikan lumpur ini tidak keluar dari sumur begituan, melainkan di dalam pipa penambangan, tentulah hasil yang didapat akan luar biasa. Lumpur ini asalnya adalah bebatuan, pasir dan air tanah yang terbawa oleh gas bumi yang keluar dari perut bumi di sana. Kalau dibiarkan baru akan habis dan berhenti dengan sendirinya kira-kira 30 tahun lagi.

Menarik sekali untuk mengetahui potensi gas yang sebenarnya di sana. Fenomena lumpur Lapindo menandakan di situ ada Mud Volcano. Mud Volcano berarti pula kandungan gas hidrokarbon yang luar biasa besarnya di situ. Dan ini memang telah terjadi di daerah bekas Uni Sovyet, terutama di Azerbaijan. Bedanya di sana, semburan lumpur terjadi di daerah tak bertuan, karenanya dibiarkan saja. Yang dieksplorasi adalah gas bumi melalui penambangan di wilayah sekitarnya.

Kehilangan dua potensi yang besar, amat sangat disayangkan. Namun tidak jelas kapan bencana ini berakhir, membuat pikiran kita menjadi lelah, dan menguras tenaga, waktu dan biaya untuk hal yang sehrausnya bisa terselesaikan. Kalau memang tak mampu, mengapa tidak sejak dari dulu saja kita tidak mengundang ahli luar saja yang mungkin lebih mumpuni dan berpengalaman untuk mengatasi hal ini?

Kalau memang tidak sanggup diselesaikan, kenapa tidak dipikirkan solusi lain untuk memindahkan semuanya dari tempat tersebut. Mungkin berbicara saja mudah, namun rasanya janggal kalau kita harus menunggu satu per satu masalah muncul. Dulu pipa gas, kemudian jalan tol, kini jalan darat, lalu lintasan KA, trus apalagi? Kalau tak mampu, namun punya biaya, yaa pindahkan saja sekaligus, dan gak perlu satu per satu, karena itu gak efisien.

Weww, cuma kesedihan yang tersisa. Tragedi dahsyat yang bermula dari kekonyolan. Kekonyolan yang dicurigai sebagai suatu kesengajaan. Namun kini semuanya bak nasi sudah menjadi bubur. Diributkan awal mulanya tragedi, tidak akan menyelesaikan semuanya, malah akan membuat pikiran kita menjadi tambah letih. Kini tinggal dipikirkan bagaimana semuanya bisa selesai dan jangan sampai lagi kekonyolan anak bangsa menjadi tragedi yang memalukan di mata dunia.

Wassalaam,

Papa Fariz
FS account: mailto:boedoetsg%40yahoo.com

No comments: