Posted: 27 September 2006
Assalaamu 'alaikum,
Apabila anda bepergian atau menetap di negeri orang, lantas saat mencari-cari, misalnya, barang elektronik,
ternyata ketemu yang made in Indonesia, apakah yang anda lakukan? Tidak membelinya dengan alasan,
sudah jauh-jauh ke negeri orang, belinya merk sendiri, atau tidak membelinya juga dengan alasan
meragukan kualitas buatan bangsa sendiri, atau malah justru membelinya karena harganya yang lebih miring,
ataukah mungkin juga semangat membelinya karena PD dengan kualitas buatan kita dan SDM-nya?
Mana kah kira-kira yang menjadi pilihan anda?
Cinta Produksi Dalam Negeri, demikianlah slogan yang dikumandangkan saat saya masih duduk di bangku
sekolah dulu. Slogan yang tampaknya kini hanya lebih merupakan lips service saja. Mengapa begitu?
Karena tak lain dan tak bukan, kalau kita mau jujur, barang nyata yang harus kita cintai ternyata hampir
gak ada di pasaran domestik. Peniti, kancing, jarum, sampai mainan anak-anak pun kini semua didominir
buatan China. Mau beli baju ke Tanah Abang, lagi-lagi yang didapat buatan China. Mau cari barang
murah meriah ke toko Valu$ yang semuanya berharga 5000-an, lagi-lagi hampir semuanya buatan China.
Ya ampyun, bukankah ini merupakan pertanda bahwa bangsa kita lebih senang menjadi bangsa trader dan
bukan bangsa manufakturer. Memang enaknya menjadi trader, cash flow berjalan cepat, BEP lebih singkat,
tidak perlu investasi mesin dll, serta resiko usaha yang relatif lebih kecil. Namun sadarkah kita akan bahaya
kalau cuma jadi bangsa trader, di kemudian hari kita akan sangat bergantung dan lebih mudah dipermainkan
oleh bangsa manufakturing? Ilmu itu baru bisa dirasakan andaikan kita sudah memegang barang tersebut.
Bisa diperdalam, andaikan kita telah mampu memproduksinya, dan bisa dikembangkan andaikan kita
mampu mendesainnya. Kalau cuma beli dan jual, apa yang bisa kita dapatkan nantinya? Okelah, mungkin
kita beralasan, kita dapat untungnya, namun untung yang mana? Untung dari bangsa kita juga?
Muter juga dong brurr...
Dan adakah kebanggaan kita untuk mengakui kualitas buatan kita sendiri bahkan untuk lebih memilih memakai
barang buatan kita sendiri? Selasa kemarin, saya sempat berkunjung ke salah satu perusahaan Aussie di sini.
Mungkin kita pernah dengar merk Legend untuk barang berupa flash disk, DDR, mother board, thumb memory
dll, di mana ternyata Legend adalah perusahaan Aussie. Konon di Aussie, Legend memonopoli dan hampir
menguasai seluruh pasar dari produk yang dibuatnya. Orang Aussie tau dengan banjirnya produk murahan
dari negeri lain. Namun mereka sedemikian bangganya dengan produk buatan bangsanya (mungkin juga
ditunjang oleh perekonomian individual yang kuat) ini, sekalipun harus merogoh kocek beberapa dollar lebih
mahal dibandingkan apabila membeli produk bangsa lain. THE MENTALITY IS THERE, demikianlah
penekanan yang diucapkan oleh client kami itu. Yahh, mentalitas untuk bangsa memakai produknya sendiri,
dan kebetulan memang produk mereka mungkin memang amat sangat bisa dibanggakan.
Saya pun jadi ingat dengan arogansi dari teman sekolah di negeri sakura dahulu. Di mana dia dengan lantang
mengatakan, kalau bicara masalah kualitas, buatan Jepang akan tahan jauh lebih lama, lebih reliable dibandingkan
barang buatan bangsa lain. Sehingga kalau ada duit, dan harga agak mahal sedikit sudah pasti barang Jepanglah
yang akan dipilihnya. Konon katanya kejatuhan Daie, Yaohan dll yang menjual banyak produk murah China,
serta undur dirinya Carrefour yang menjual produk murah meriah di negeri sakura, adalah salah satunya
disebabkan karena menawarkan harga semata. Padahal, kata teman Jepang saya yang lain, bangsa kami
gak cuma melihat murahnya harga saja, tapi lebih mengutamakan kualitas, demikian dengan PD-nya dia berkata.
Yahh, THE MENTALITY IS THERE. Inilah yang juga menunjang produk mereka bisa bertahan. Syarat
utamanya sudah pasti kualitas harus bagus. Kemudian harus ada mentalitas, bahwa siapa lagi yang bakal membeli
produk itu kalau bukan bangsa kita sendiri.
Ada lagi satu cerita "tragis" dari client kami di Jakarta, tentang nasib produk asli mereka. Saya sebenarnya kagum
dengan client kami ini, dan itu saya katakan terus terang, karena mereka salah satu dari 3 perusahaan lokal
yang mampu membuat desain dan mempunyai RND sendiri untuk produk elektronik yang dibuatnya.
Paling gak, buat saya pribadi, mereka lebih baik dari perusahaan PMA, yang sudah pasti enggan mendirikan
RND produk, tapi hanya mengedepankan RND produksi, yang cuma berpikir bagaimana produksi bisa berjalan
lancar sesuai target dengan 0 deffect. Walau hal itu sebenarnya wajar, karena bukankah tujuan utama mereka
mendirikan pabrik di sini, bukan untuk menyejahterakan rakyat sini, bukan untuk alih teknologi kepada bangsa kita,
dll tujuan mulia, melainkan mencari tempat yang cost-nya lebih murah, yang buruhnya bergaji lebih murah dan
daya negoisasinya lemah, dll sehingga hasil akhirnya profit mereka membesar. Itulah pikiran pengusaha,
mencari profit yang sebesar-besarnya. Itulah emang tujuan dari sebuah bisnis. Persetan dengan apa yang namanya
menyejahterahkan rakyat. Kalaupun rakyat di situ naik taraf ekonominya, itu adalah efek sekunder yang tak lain
akibat dari simbiosis mutualisma, dan bagus sekali kalau bisa terjadi, walau bukan tujuan utama mereka.
Balik lagi tentang client kami, akhir tahun lalu, mereka launching produk kamera digital dengan target harga di bawah
1 juta-an, 3 Mega Pixel, ada digital zoom, walau tanpa optical zoom. Untuk tahap awal mereka buat 6000 pcs.
Then apa hasilnya? Hasilnya ternyata setelah setahun lewat, stoknya masih menumpuk di gudang, alias dengan
sukses hancur di pasaran. Promosi yang kurang kah? Kualitas yang kalah kah? Membanjirnya produk China
dan Korea, yang lebih murah dan berkualitas kah penyebabnya? Dll kah? Mungkin banyak faktor. Saya jadi
teringat lagi tentang kisah hancurmya industri mainan anak-anak di tanah pasundan, karena kalah bersaing dengan
produk buatan China. Saya jadi sedih mengingat mulai banyaknya industri tekstil yang gulung tikar di negeri kita.
Entah, masih berapa banyak lagi dari berbagai industri yang kini megap-megap.
Megap-megap yang mungkin karena kesalahan mereka karena dianggap kualitas kurang. Megap-megap yang
mungkin karena kesalahan mereka tidak bisa menurunkan harga. Megap-megap yang mungkin karena kesalahan
mereka tidak pandai berpromosi. Megap-megap yang mungkin karena takdir mereka yang tidak dilirik penguasanya
untuk dibantu. Namun tega kah kita membiarkan saudara kita sendiri megap-megap? Tegakah kita lebih membiarkan
tetangga kita bisa beli mobil dan baju baru, karena bantuan kita, padahal saudara kita sendiri megap-megap.
Dalam bersedekah sekalipun, dianjurkan diberikan kepada orang-orang terdekat, semisal family kita ataupun
tetangga kita. Dan yang terpenting, yang mungkin, membuat saudara kita megap-megap, adalah tak lain dan
tak bukan, adalah THE MENTALITY IS NOT THERE. Maybe dari rakyat dan penguasanya, entahlah.
Kok bisa sampai terjadi The Mentality Is Not There? TANYA KENAPA?
Trus salah siapa dan bagaimana solusinya? Atau kita membiarkan diri kita menikmati keadaan ini sampai kita
semua tenggelam dan hilang ditelan zaman?
Silahkan dicari jawabannya sendiri. Kalau boleh, silahkan di sharing pendapatnya di forum ini.
Wassalaam,
Papa Fariz
No comments:
Post a Comment