Saturday, June 9, 2007

Pendidikan tinggi bukan untuk kaum papa

Posted: 8 Agustus 2006

Assalaamu 'alaikum,

Pagi ini, sebelum pergi ke kantor, saya sempat melirik siaran berita di salah satu TV swasta kita yang tertangkap di negeri sebrang sini.
Ada 2 berita yang terkait dengan dunia pendidikan, yang isisnya sangat kontras.

Berita pertama adalah kabar mengharukan dari berdiri dan berjalannya sekolah gratis untuk anak-anak kaum papa, di daerah Ciseeng, Bogor.
Sekolah yang meminjam gedung tua dan lusuh dari sebuah madrasah ini memberikan pendidikan untuk level TK dan SMP.
Pendirinya, seseorang, yang sudah berumur 30-an, meskipun penampilannya lusuh dan kucel, pria yang berambut dikepang ini, layak diacungi jempol.
Hari gini, di zaman yang serba tidak gratis,masih sanggup mengusahakan pendidikan gratis bagi warga miskin (walau saya pribadi tertarikjuga ingin mengetahui latar belakangnya).

Berita kedua adalah tingginya uang pangkal di kampus Kuning, Depok, yang berkisar antara 5-25 juta.
Untuk fakultas kedokteran, tentunya uang pangkalnya adalah 25 juta.
Tingginya uang masuk ini konon katanya demi menutupi murahnya uang kuliah yang "cuma" 1,5 juta per semester.
Menurut kabar yang beredar, memang banyak universitas yang megap-megap membiayai kegiatan akademik-nya, sejak Pemerintah kita tidak lagi mensubsidi uang pendidikan.
Memang ada cara lain, semisal bekerja sama dengan pihak industri untuk penelitian bersama.
Namun, bukankah masalahnya dunia industri kita juga sedang cool down, dan mereka juga banyak yang reluctant untuk menginvestasikan keuangannya di bidang RND.

Inilah kendala yang pernah dikeluhkan oleh teman saya yang bekerja di RND suatu perusahaan.
Akhirnya RND yang ada cuma RND produksi saja, dan bukan RND produk.
Jangan heran, kalau kita akhirnya terus tertinggal dalam pengembangan teknologi, karena memang dana, sarana dan fasilitas, yang lebih penting PD, juga tertinggal jauh di belakang.
Ada juga pihak universitas yang mengakali, dengan alasan untuk kepentingan subsidi silang, dibukalah jalur penerimaan khusus diluar SPMB dan PMDK.

Seorang saudara jauh yang kebetulan hidupnya amat sangat berkecukupan, pernah bercerita bahwa anaknya ikutan mengambil ujian itu untuk masukke Kampus Biru di Dago sana.
Di situ ditanyai berapa uang sumbangan yang berani diberikan?
Diisi oleh saudara jauh itu sebesar 300 juta, dan memang hampir semua peserta lainnya mengisidalam jumlah yang besar-besar.
Saya sendiri memilih tidak melanjutkan pembicaraan dan tidak tertarik untuk mendengar bagaimana kisah selanjutnya apakah anak itu bisa tembus ke Dago atau tidak.

Bukan apa-apa, "muak" saja rasanya mendengar pendidikan bisa "dibeli" dengan uang, walau memang dunia realita sudah menunjukkan kepada kita bahwa itulah yang terjadi di sekitar kita.
5 juta? 25 juta? Bahkan 300 juta?
Bukan jumlah yang sedikit. 13 tahun lalu saat saya menginjakkan kaki di kampus Kuning Depok, saya lupa berapa uang pangkal, tapi agaknya cuma berkisar 250 ribu.
Uang SPP kalo itu per semester juga cuma 250 ribu-an.
Tahun berikutnya, saat bersama beberapa rekan se-fakultas, hijrah ke Kampus biru, biaya SPP pun gak jauh beda.

13 tahun kemudian, nilai SPP sudah lebih dari 6 kali lipat.
Uang pangkal pun sudah menjadi puluhan kali lipat. Saya gak kebayang, di kala Paiz kecil (yang kini masih 3 tahun), masuk ke universitas, kira-kira berapa bakalan uang SPP dan uang pangkal itu nantinya.
Itu bisa dibilang, begitu dahsyatnya inflasi yang terjadi di negeri pertiwi.
Uang menjadi begitu jatuh harganya. Beberapa tahun sebelum saya pergi merantau 12 tahun lalu, almarhum ayah saya yang bekerjadi salah Bank Pemerintah bergaji 4 juta setahun.
Dan itu cukup untuk membeli rumah sederhana dan mencukupi hidup anak-anaknya yang 8 bersaudara.

Kini, 15 tahun kemudian, uang 4 juta sebulan pun, untuk tinggal di Jakarta dengan anak 1 sekalipun sudah terasa begitu beratnya.
Luar biasa dahsyatnyakejatuhan nilai uang kita.
Tentang uang masuk sekolah, saya sendiri sempet geleng-geleng kepala melihat daftar biaya masuk TK dan juga dengar dari sana-sini yang mengisahkan bahwa uang pangkalnya mencapai nilai berjuta-juta.
Bahkan konon TK unggulan, memasang tarif 40 juta, dengan SPP 2-5 juta/bulan.
Kalau dibandingkan begini, boleh jadi pihak universitas akan berbalik complain, TK aja segitu biayanya, masak universitas yang cuma biayanya segini saja dibilang mahal?

Unbelievable, ternyata gak sedikit yang mampu memenuhi taraf mahal tersebut, walau konon katanya penghasilan rata-rata kita tergolong rendah di Asia, dan entah darimana another income itu datang.
5 juta, 25 juta dan 300 juta, bukanlah jumlah yang sedikit apalagi buat mereka yang berjuang hidup matihanya demi mendapatkan uang subsidi BLT sebesar 100 ribu rupiah per bulan.
Kepala saya sudah letih untuk menggeleng, membayangkan malang nian nasib dikau, anak-anak miskin di Indonesia.
Untuk 100 ribu saja, orang tuamu harus berebut mati-matian sampai kadang mengancam Pak RT dan Pak Lurah, bagaimana dikau bisa masuk ke universitas yang biaya masuknya saja sudah puluhan juta rupiah.

Gak ada orang yang ingin terlahir sebagai anak miskin, namun malang nian dikau harus menerima kenyataan pahit itu.
Pengangguran di nusantara sudah mencapai angka 40 juta. Yang sarjana pun masih banyak yang menganggur.
Apalagi yang cuma lulusan level pendidikan di bawahnya.
Sekali lagi kasihan sekali anak-anak kaum papa itu.

Agaknya alam memang menakdirkan mereka untuk terus bergulat kembali ke kubang kesusahan, kecuali mereka mendapat suatu miracle yang luar biasa.
Bagaimana mau belajar, kalau beli buku sekolah saja tidak mampu.
Apalagi kini buku sekolah berganti terus tiap tahun, karena dunia pendidikan tidak bisa lepas lagi dari permainan "setan-setan" yang rakus uang.

Bagaimana mereka bisa pintar kalau mereka gak bisa dan gak pernah belajar, karena buku aja gak punya dan waktu tersita untuk banting tulang cari nafkah, membantu orang tua yang penghasilannya pas-pasan.
Kalaupun pintar, bagaimana mungkin mereka bisa masuk universitas, karena kemiskinan mereka tidak mungkin membuat mereka mampu melakukannya.
Anak tetangga saya, pintarnya termasuk luar biasa, dan menjadi juara umum di sekolahnya, dari SD sampai SMP.
Sayang Bapaknya cuma tukang tahu goreng. Akhirnya sang anak sempet disuruh pulang kampung dan kini cuma bekerja sebagai operator rendahan di pabrik.
Ada lagi anak tetangga lain, yang selalu menjadi juara umum sampai SMA.
Sayang, bapaknya cuma sopir,yang gak mampu membiayai dia untuk kuliahnya.
Akhirnya kemampuan tingginya di bidang matematika cuma mentok sebatas kerja sebagai kasir dari satu toko ke toko lainnya.

Lantas, kalau lulusan universitas saja menganggur, bagaimana mungkin anak kaum papa dapat merubah nasibmu, keluar dari kubangan kemiskinan, dengan pendidikan yang ada dan kesempatan kerja yang rendah.
Memang benar ada beberapa kisah sukses dari kaum papa, yang moncer menjadi milyader.
Namun sayang jumlahnya sangat-sangat tidak seberapa dibandingkan mereka yang bisa kerja aja jadi kuli aja sudah bersyukur.
Makanya jangan heran di sudut-sudut kota Jakarta, terlihat tongkrongan anak, yang kerjanya cuma tidur, main gitar malam-malam, gak ada juntrungannya.
Masih syukur kalau mereka gak sampai kena narkoba.
Nyari kerja susah euiy, begitu keluhan seorang tukang kue langgananku di Jakarta atas nasib anaknya yang bertahun-tahun menganggur.

Bulan lalu saya pun sempat miris mendengar kabar anak dari mantan tetangga yang bunuh diri di masjid dekat rumah.
Dari keluarga broken home, karena ayahnya tukang cicip perempuan, padahal penghasilan ngepas, orang tuanya gak pernah mengurus, sekolah gak selesai, kerja gak ada dan gak diterima dimana-mana, dan terakhir diputus cinta oleh pacarnya.
Ibaratnya lengkap sudah penderitaannya, sehingga dia memutuskan untuk bunuh diri.
Yahh, semua memang serba ada di negeri supermarket.
Agaknya pendidikan tinggi memang bukan milik kaum papadan anak-anaknya.
Agaknya mereka akan terjebak dalam lingkaran setan yang merudung nasib mereka.

Namun percayalah, Allah Maha Adil.
Andaikan kita berupaya dengan keras dan mensyukuri nikmat-Nya, tentulah jalan ke arah perbaikan itu ada, dan bukankah orang dinilai oleh-Nya dari segi ketakwaannya dan bukan kekayaannya?
Walau begitu, jurang pemisah antara kaum kaya dan miskin memang terasa besar di sana.
Dan agaknya jurang itulah yang sulit digapai oleh kaum papa, karena salah satu cara mengatasinya adalah dengan pendidikan tinggi, yang ternyata juga bukan milik mereka.

Semoga kita semua bisa menemukan celah untuk mengatasi kesenjangan pendidikan dan masalah pendidikan.
Agar pendidikan menjadi milik kita semua. Yang dapat dinikmati secara merata oleh semua anak bangsa.
Wahh, mimpi apa lagi nih???
Entahlah, berharap apa pun sah-sah aja, ya kan?

Wassalaam,

Papa Fariz

No comments: