Posted: 26 Oktober 2006
1 Syawal di Indonesia, terpecah menjadi 2 bagian besar.
Sebagian merayakan pada hari Senin, 23 Oktober 2006 dan yang lainnya ikut Pemerintah, merayakan pada tanggal 24 Oktober 2006.
Muhammadiyah, sebagian NU Jatim dan beberapa wilayah Indonesia memilih 23 Oktober 2006.
DPP PKS secara resmi mengeluarkan surat penetapanbawa Idul Fitri jatuh pada tanggal 24 Okt, namun beberapa teman yang aktivis PKS, tetap merayakan lebaran pada tanggal 23 Okt.
Sebagian dari mereka beralasan, ada informasi kuat yang menyatakan hilal telah terlihat pada tanggal 22 Okt, ada pula yang beralasan bahwa PKS kini telah menjadi bagian dari Pemerintah, sehingga mau gak mau ada pertimbangan lain sehingga akhirnya memutuskan ikut yang tanggal 24 Okt.
Dan lagi keputusanDPP tersebut tidak bersifat mengikat.
Arab Saudi, yang 4 jam lebih lambat dari WIB, justru melaksanakan sholat Ied pada hari Senin, 23 Oktober 2006 jam 11.00 WIB.
Sebenarnya, kalau mau jujur, selama 60 tahun, sudah bisa ditebak, ketetapan Pemerintah akan Hari Raya tidak pernah berubah dari kalender yang telah dibuat semenjak setahun sebelumnya.
Andaikan berubah, terbayangkah oleh anda "kekacauan" di bidang Politik-Ekonomi-Sosial-Budaya dll.
Terbayangkah oleh anda bagaimana repotnya memajukan protokoler sholat Ied Presiden sehari lebih awal?
Terbayangkah oleh anda acara-acara TV yang sudah disusun jauh-jauh hari harus berantakan? Terbayangkah oleh anda para institusi finansial harus menggeser hari liburnya akibat perubahan tanggal mereka di kalender.
De el el, yang implikasinya begitu luas dan besar?
Lantas, yang kini jadi pertanyaan:
1. Pemerintah selalu mengatakan bahwa keputusan mereka adalah berdasarkan pernyataan para ahli rukyat yang menyatakan tidak melihat hilal.
Apakah mereka memang benar-benar tidak melihat hilal, ataukah mereka melihat namun mengatakan ataupun diubah menjadi tidak melihat? (maaf bukan bermaksud buruk sangka).
Lantas mengapa justru ahli rukyat non Pemerintah yang berani menyatakan bahwa mereka melihat hilal meski pernyataan mereka tidak akan bisa jadi dasar keputusan pemerintah?
Entahlah, selama 60 tahun, hal itu terus terjadi, dan apakah hal itu bisa dibilang kebetulan yang selalu berulang ataukah ada istilah lain yang lebih tepat.
Selama 13 tahun di masa Rasulullah, bulan Ramdahan yang 29 hari itu ada 10 tahun, dan yang 30 hari itu cuma 3 tahun saja (CMIIW).
2. Ilmu Astronomi sudah sedemikian canggihnya hingga bisa meramalkan terjadinya gerhana matahari dan bulan sekalipun yang bakal terjadi puluhan tahun ke depan.
Perkara hilal adalah masalah "kecil" yang sedemikian mudah bisa diramalkan, kapan, berapa tingginya dll.
Tentunya, logikanya akan mudah, setelah menghisab, kita tinggal menunggu ke arah mana pada ketinggian berapa hilal itu akan dilihat.
Apalagi dengan keberadaan teleskop yang bakal sangat membantu penglihatan hilal itu.
Namun apakah dan bagaimana pemanfaatan ilmu astronomi sertaalat bantu teleskop ini dalam penentuan hilal ini?
Apakah hal itu diperbolehkan?
Kalau tidak diperbolehkan, mengapa waktu sholat dalam masa kini ditentukan berdasarkan perhitungan dan bukan mengacu pada masa dulu, yakni mengikuti seberapa panjang bayangan kita?
Mengapa di satu sisi boleh, di sisi lain tidak boleh?
Lantas bagaimana dengan kasus seperti di Kalimantan, Malaysia, Singapore yang tertutup kabut asap?
Sudah pasti hilal tak akan terlihat, wong sang mentari saja tidak terlihat kok.
Apakah dengan demikian harus digenapkan 30 hari?
Alhamdulillah, perbedaan hari raya tidak menjadi polemik dan bisa diterima oleh semua pihak, walau masih menyisakan beberapa pertanyaan seperti di atas.
Tidak sedikit pula yang berpendapat, untuk apa memikirkan kapan lebaran tiba.
Bukankah sudah sepatutnya justru kita bersedih ditinggalkan oleh bulan yang penuh rahmat, dan belum tentu kita dipertemukan lagi dengannya di tahun mendatang.
Semoga Allah SWT masih mengijinkan kita menikmati kembali bulan Ramadhan di tahun-tahun mendatang.
Anyway, mohon maaf lahir bathin terutama atas kekhilafan saya dalam ber-mailing list selama ini.
Wassalaam,
Papa Fariz
No comments:
Post a Comment