Saturday, June 9, 2007

Refleksi atlet di usia senja

Posted: 5 November 2006

Assalaamu 'alaikum,

Ada email dari seorang teman di milis jiran mengenai keprihatinannya mengenai masalah atlet, terurama di hari tuanya.
Kasus ini sempat mencuat terutama ketika mantan juara dunia tinju pertama, Elly Pical, tertangkap tangan menjadi centeng diskotik yang berfungsi ganda mengedarkan narkoba.
Kasusnya entah gimana berlanjut, apakah dia jadi masuk bui atau gak, kurang jelas.
Lantas akhirnya beberapa pihak menyalahkan kurangnya perhatian Pemerintah terhadap kesejahteraan para atlet.

Menjadi atlet memang belum bisa menjadi pijakan di negeri kita, kecuali atlet bulutangkis.
Minimnya payment dan kompetisi, pengelolaan yang kurang profesional dll, mungkin menjadi salah satu penyebab semua itu.
Gak jarang, ada sebagian atlet yang akhirnyabanting stir meninggalkan dunia olahraga karena dilihatnya dunia tersebut tidak menjanjikan.
Namun mengenai hari tua, boleh jadi pengawasan Pemerintah memang kurang, walau akhirnya bukankah hal itu sebenarnya kesalahan sang atlet sendiri jua, pada dasarnya.

Atlet, dibandingkan orang biasa, seharusnya bersyukur sekali, karena di masa jayanya dia mendapat popularitas dan limpahan kekayaan, yang sangat sulit didapat orang lain.
Namun, seyogyanya dia juga menyadari bahwa masa emas profesinya tidak panjang.
Untuk seorang pemain sepakbola, mungkin sampai 35 tahun saja.
Untuk atlet lain ada yang berkisar 30 tahun sampai 40 tahun, dll.
Kalau dia memang pintar dan smart, tentunya dia akan pintar mengelola uangnyasemasa jayanya, dan memikirkan bagaimana kelak nanti masa depannya.
Dan dia juga pasti akan berupaya membangun relasi dll.

Dengan uang yang melimpah, dia bisa usaha bisnis apa aja, kemudian dia juga bisa berpikir akan jadi pelatih dll dengan bisnis sampingan yang ia jalankan.
Banyak kok yang sukses, seperti Susi-Alan dll.
Rasanya aneh, kalau mereka sangat menggantungkan harapan kepada Pemerintah.
Hidup ini adalah hidup mereka sendiri.
Hidup ini keras, bung, semua harus berupaya sendiri untuk bisa survive bagaimana caranya.

Rasanya aneh banget, ketika muda dan jaya dia hidupnya sangat berfoya-foya, di tengah cewek-cewek cantik, dan gonta-ganti rumah serta mobil mewah.
Namun dia lupa hari tuanya, dan ketika tua dia mengemis-ngemis kepada Pemerintah.
Saya gak yakin, di negara lain para Pemerintahnya mau mengucurkan dana begitu saja kepada atlet.
Kalau iya, atlet mana saja, dan bukankah jumlahnya banyak banget.
Kalau iya, itu berarti membuat iri profesi lainnya.

Menjadi atlet adalah juga suatu pilihan hidup, dan setiap pilihan hidup itu ada resikonya.
Lantas mengapa kemudian kita menjadi cengeng pada akhirnya terhadap pilihan hidup kita sendiri.
Maaf, bukan bermaksud tidak bersimpati kepada perjuangan para atlet, namun bukankah ada baiknya para atlet itu juga berpikir lebih smart demi masa depannya.
Bonus bermilyar-milyar, kalau sukses, yang didapat di masa jayanya, sangat musykil dikumpulkan oleh jutaan orang meskipun orang-orang tersebut harus bekerja puluhan tahun.

So What Gitu Lho?
Kalau anda maukah jadi atlet?
Apakah Pemerintah yang salah dengan merananya para atlet di usia senja?
Ataukah itu sebenarnya kesalahan sang atlet sendiri,menurut anda?
Lantas bagaimana baiknya?

Wassalaam,

Papa Fariz

No comments: