Saturday, June 9, 2007

Singapore yang paradoks

Posted: 3 November 2006

Assalaamu 'alaikum,

Sebenarnya kisah paradoks-nya Singapore seperti yang ditulis oleh Pak Todung Mulya Lubis ini, memang bukan cerita baru.
Bukannya cuma Pemerintahnya, rakyatnya pun demikian.
Bolehlah mereka mengaku-ngaku Singapore salah satu kota terbersih, karena memang ada stiff punishment di sini.
Namun sekali mereka pergi ke Batam, joroknya juga gak ketulungan, ngeludah dan ngerokok di mana-mana.
Pokoknya negeri gue oke, kalo negeri orang sa bodo amat, emangnya gue pikirin, gitu kira-kira.

Dan sesuai dengan opini dari Morgan Stanley, dari 55 ribu orang kaya di sini (yang kekayaannya melebihiUSD 1 million), 30% di antaranya adalah PR dari Indonesia, alias sebanyak 18 ribu orang.
Kalo semiskin-miskinnya 18 ribu orang itu masing-masing punya USD 1 million, maka aset total mereka di sini adalah 18 ribu x 1 juta = USD 18 billion, alias 160 trilyun rupiah!
Namun rasanya gak mungkin aset mereka cuman USD 1 million saja.
Bisa kebayang kan, kelipatan kekayaan orang kita di sini?

Walau begitu seharusnya dipikirkan juga, dana yang lari keluar itu apakah karena rasa egois dan A-nasionalis dari pelakunya ataukah memang uang haram ataukah memang kondisi di nusantara yang menyebabkan dana itu lebih dipilih diparkirkan di luar.
Singapore sendiri memang konon membentuk 1 badan khusus untuk menampung pelarian uang haram dari Indonesia.
Andai dituding mukanya, mereka berkilah, kami gak tau uang itu asalnya dari mana.
Kami hanya menyimpan sesuai dengan kehendak si pengguna jasa.

Sama kasusnya seperti kasus pasir laut.
Kisah ini saya dapatkan dari seorang teman yang pernah datang ke sini sebagai mitra konsultan Deperin untuk investigasi pasir laut.
Untuk melakukan reklamasi (tau kah anda, luas negeri mini ini dulu cuma 490 km2, dan kini sudah jadi 690 km2),
Pemerintah sini mengadakan tender. Sang pemenang diwajibkan mensuplai sesuai dengan kuota.
Namun pemerintah sini gak mau tau itu pasir datang dari mana, apakah ilegal atau gak dll. Pendeknya ini kelicikan mereka untuk cuci tangan andai mendapat komplain dari negeri sebelah.

Taukah anda, ekspor pasir laut ke sini, adalah 2 juta m3 per hari (senilai 11 milyar rupiah), namun yang tercatat hanyalah 0.93 juta m3 per hari?
Dan itu berarti sebanyak 55% pergi secara ilegal, dan Pemerintah sini gak mau tau.
Kalau mau liat bagaimana proses reklamasi, bukalah Goggle Earth, dan anda akan melihat di ujung timur pulau kecil ini ada pembangunan terminal 3 bandara Changi.
Liat saja berapa luasnya, dan itu harus dipadatkan, jadi bisa dibayangkan berapa dalamnya pasir itu ditimbun, dan finally berapa kira-kira volume yang dibutuhkan.
Untuk keperluan pembangunan rumah susun, mereka menimbun pasir di area dekat tempat tinggal saya di Tampines.
Di situ anda akan dapati gunungan bukit pasir yang masing-masing tingginya lebih dari 30 meter.

Minggu lalu, saat di Jakarta, saya sempat ngobrol dengan seorang kerabat yang bekerja di perusahaan logistic.
Katanya, yang namanya RE-INVOICING, yang dilakukan di Singapore sudah biasa.
Maksudnya, misalnya ada mesin senilai 10 milyar harga orisinilnya diimpor masuk ke Indonesia.
Semisal tax nya 20%, maka negaraharusnya dapat tax 2 milyar.
Namun mesin itu masuk ke Singapore dulu, dan dibuat invoice lagi, diubah menjadi 2 milyar.
Akibatnya tax yang masuk cuma 400 juta, dan yang 1,6 milyar menguap begitu saja.
Apakah pemerintahsini tidak tau hal ini?
Mustahil begitu, mereka pasti tau namun sengaja tutup mata, dan bukankah hal ini tidakmerugikan mereka?

Namun, selanjutnya bodohkah pihak custom kita di sana?
Ternyata mereka tidak bodoh.
Mereka sudah memiliki suatu program komputer untuk me-break down material, di mana datanya bisa didapat dengan mudah karenasetiap benda punya yang namanya HS code.
Manakala invoice terlalu under value dari perhitungan nilai raw material barang tersebut, biasanya pihak custom akan memanggil pihak yang akan melakukan clerance dan menunjukkan bukti-bukti via program di komputer tersebut.
Apakah hal ini selesai di situ saja? Ternyata tidak.
Custom kita kini memang tidak bodoh, namun mereka gila.

Setelah tunjukkan bukti under value, tanpa banyaktanya, mereka langsung nodong.
Kerabat saya ditodong 6 juta. Boss dia bilang bayarin aja.
Karena memang keuntungan dari under value hasil reinvoicing di Singapore jauhhhhh lebih besar dari cuma sekedar 6 juta saja.
Setelah nego alot, akhirnya custom mengiyakan 1,5 juta rupiah.
Kemana larinya duit itu?
Tentunya langsungdengan mulus mendarat di kantong si staf custom ini.

Itu baru dari 1 pihak. Sehari, ada berapa shipment, dan sebulan berapa hari.
Jangan tanya deh besarnya.
Masalah Paradox Singapore memang sudah kentara, namun begitulah, entahlah licik entah smart, mereka selalu punya alasan untuk cuci tangan dan pura-pura gak tau.
Di negeri sendiri jangan ada korupsi, tapi juga jangan sampai negeri sendiri menderita rugi.
Namun kalo negeri lain yang kena, emang gue pikirin.
Mungkin bukan cuma paradoks, tapi bisa dibilang BOKIS juga.
Bokis memang sejalan dengan sifat KIASU mereka alias gak mau kalah, gak mau ketinggalan, dan gak mau rugi.
Mungkin bukan cuma paradoks,tapi juga hipokrit kali yah.
Walau egitu, di sini kita bisa mengerti bahwa batas antara ke-smart-an dan kelicikan ternyata begitu tipis.

Wassalaam,

Papa Fariz

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0611/02/opini/3066058.htm.

*"Singapore Paradox"?**

Todung Mulya Lubis*

Anda adalah seorang pengusaha Indonesia. Anda telah menyuap pejabat bank negara untuk mendapatkan 200 juta dollar Amerika Serikat tanpa jaminanmemadai, atau analisa risiko, untuk sebuah bisnis yang Anda tahu tak akan bisa berjalan. Aparat penegak hukum mengetahui hal ini dan Anda dihadapkankepada ancaman penahanan. Anda harus lari ke tempat di mana aparat hukum tak akan bisa menyentuh Anda. Ke mana? Singapura. Mengapa? Karena Singapurahanya setengah jam terbang (seharusnya satu jam lebih sedikit) dari Jakarta, atau 45 menit dengan ferry dari Batam, dan yang terpenting Singapura tidakmemiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia".Itulah awal tulisan Michael Backman di harian The Age (Melbourne, 26/7/2006) yang terkesan amat ironis dan penuh sinisme. Bayangkan Singapura, sebuahnegara pulau yang amat maju, serba teratur, dan diperintah oleh supremasi hukum, tiba-tiba digambarkan sebagai tempat parkir uang-uang haram dariIndonesia.Tulisan ini tak enak dibaca, dan muka mantan Perdana Menteri Lee Kuan Yew merah padam menahan marah. Pertanyaannya, sejauh mana Michael Backman benar?*Bersih dari korupsi*Jika melihat data dari Corruption Perception Index (CPI) yang diterbitkan Transparency International setiap tahun, terlihat, Singapura termasuk negarapaling bersih dari korupsi bersama sejumlah negara Skandinavia. Tahun 2005, misalnya, survei Transparency International menempatkan Singapura sebagai negara nomor lima paling bersih dengan score 9,4.Rentang score yang digunakan survei Transparency International adalah 0-10, angka 10 untuk negara zero corruption dan angka 0 untuk negara paling korup.Score 9,4 adalah yang amat bagus mendekati sempurna, dan menjadi daya tarik bagi pengusaha dan mereka yang ingin menabungkan uangnya di bank-bankSingapura. Kerahasiaan bank terjamin dan aman. Tidak heran jika Singapura, negara berpenduduk sekitar 4,5 juta jiwa dengan produk domestik bruto (GDP)sekitar 132 miliar dollar AS, menjadi pusat keuangan dan bisnis regional yang maju pesat, hadir sebagai saingan baru bagi pusat keuangan mapanseperti Hongkong dan Swiss.Jika meneliti konglomerasi Indonesia dan dunia, terlihat banyak sekali.regional headquarters berdomisili di Singapura, dan uang pun mengalir kesana. Proses pengambilan keputusan pun akhirnya banyak dilakukan di Singapura, menyebabkan lalu lintas ke dan dari Singapura menjadi amat padat.Lihat, pesawat Jakarta-Singapura setiap hari padat penumpang.Maka, bagi publik, terutama pengusaha, Singapura adalah negara yang amat maju, teratur, bersih dari korupsi, dan dituntun oleh Rule of Law. Lembagapengadilan amat mandiri, independen, dan tanpa korupsi. Putusan pengadilan selalu berdasar ketentuan hukum yang berlaku (strict law).Belakangan, penyelesaian arbitrase di Singapura juga mulai populer karena dianggap memiliki kredibilitas tinggi. Akhirnya Singapura menjadi bukan sajatempat bisnis, tetapi juga tempat rujukan penyelesaian sengketa bisnis. Tidak heran jika kita melihat banyak kontrak bisnis internasional yangmencantumkan penyelesaian sengketa bisnis di lembaga pengadilan atau arbitrase di Singapura.Dalam kondisi seperti inilah kita selalu mendengarkan kotbah tentang integritas, good governance, good corporate governance, dan Rule of Law dariSingapura, baik yang berasal dari pemerintahan maupun pengusaha swasta. Indonesia sering dikritik sebagai negara yang tak aman untuk berinvestasi karena ketidakpastian hukum dan merajalelanya korupsi.Perlu dicatat, pada tahun 2005, menurut survei Transparency International,Indonesia termasuk negara paling korup di dunia, pada urutan 132 denganscore 2,2. Bandingkan dengan Singapura yang mendapat score 9,4. *Uang haram*Indonesia adalah negara yang tak akan maju jika tidak memperbaiki kondisi penegakan hukum. Dengan kata lain, Indonesia akan terus terpuruk sebagai"paria" di antara negara-negara Asia yang sedang berlomba maju seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam serta Korea Selatan, Taiwan,Cina, dan India.Indonesia yang kaya sumber alam dan penduduk hanya menjadi penonton kemajuan ekonomi karena sistem pemerintahan yang korup dan tak berkepastian hukum?Indonesia tak lagi memiliki modal, dan daya beli kian merosot.Ke mana uang Indonesia mengalir? Ke mana modal Indonesia menghilang? Dalam kaitan itu, menarik membaca tulisan Netty Ismail, Morgan Stanley's QuitAfter Singapore E-Mail (Bloomberg, edisi 5 Oktober 2006). Dalam artikel itu dijelaskan, Chief Economist Andy Xie yang telah bekerja sekitar sembilantahun pada Morgan Stanley terpaksa atau dipaksa mundur karena sebuah e-mail internal yang amat kritis terhadap keberhasilan Singapura yang menurut AndyXie berasal dari uang haram para pejabat dan pengusaha Indonesia yang dicuci di Singapura. "Indonesia has no money. So Singapore isn't doing well", kataAndy Xie dalam salah satu e-mail-nya.Maka, Singapura sebetulnya mendulang sukses dari uang-uang haram hasil penjarahan uang negara Indonesia yang dilakukan pejabat dan pengusaha takbertanggung jawab. Tidak heran melihat banyak gedung, apartemen, dan kantor yang merupakan investasi orang-orang Indonesia yang oleh pemerintahSingapura diberikan banyak kemudahan, termasuk pajak dan izin tinggal (permanent residence), bahkan dalam beberapa kasus diberi kewarganegaraan Singapura. Beberapa pengusaha Indonesia diketahui memiliki status warga negara Singapura. Mereka lalu menjadi untouchables karena bukan lagi warganegara Indonesia.*Standar ganda*Apa yang dikatakan Andy Xie bukan barang baru. Banyak orang Indonesia mengeluhkan hal ini karena melihat Singapura memainkan standar ganda. Disatu sisi kita sering diberi kuliah tentang good governance, good corporate governance, dan Rule of Law, tetapi di sisi lain kita melihat Singapura tidak membantu Indonesia memerangi korupsi dalam arti membawa koruptor dan asetnya ke Indonesia.Assets tracing tampaknya tidak jalan. Padahal banyak ikhtiar politik dilakukan, tetapi hingga kini tetap mandek. Artinya, biarlah korupsi terjadi di negara lain, yang penting bukan di Singapura. Dan Singapura pun menampung uang-uang korupsi. Lebih dari itu, jika melihat hasil Bribe Payers Index 2006 yang diterbitkan Transparency International terlihat para pengusaha Singapura juga melakukan penyiapan dalam bisnisnya di luar negeri meski tidak separah pengusaha China, India, Rusia, dan Brasil, misalnya.Akan tetapi intinya adalah, di negeri lain boleh kotor, tetapi kebersihan di negeri sendiri harus dipelihara.Bagi saya, ini amat memilukan karena tidak menggambarkan komitmen kolektif untuk bersama-sama membersihkan dunia dari korupsi yang diyakini sebagaipersoalan global: karena merupakan kejahatan global. Bagi saya, sikap Singapura ini saya sebut Singapore Paradox, sikap hipokrit yang tak membantukita keluar dari lingkaran setan korupsi dan pencucian uang yang dahsyat ini.Artikel ini tak bermaksud melarang orang berbisnis atau menyimpan uangnya di Singapura. Kini, dalam bisnis global, semua itu sah dan tak boleh dilarang.Namun, adalah mutlak adil jika Pemerintah Singapura tidak menyediakan dirinya untuk menjadi tempat "parkir" bagi uang-uang haram dari mana punmeski keadaan ekonomi akan kian sulit. Kehendak Pemerintah Singapura untuk membangun kasino juga akan dilihat banyak orang sebagai kesempatan mencuci uang haram. Pandangan ini tidaksalah karena pasti akan banyak uang haram yang terdampar di meja-meja judi. Kita tak akan bisa menutup karena judi akan terus ada dalam berbagai bentuk,termasuk judi gelap yang pasti lebih merugikan.Namun, Singapura bisa berbuat banyak untuk perang melawan korupsi dan pencucian uang jika pemerintahnya membantu membawa kembali koruptor dan uangharam mereka ke negeri ini. Dalam konteks ini, penandatanganan Perjanjian Ekstradiksi adalah satu langkah awal yang penting. Sayang, PemerintahSingapura selalu berdalih, sistem hukum berbeda, maka Perjanjian Ekstradiksi sulit diwujudkan. Perlu diketahui, Indonesia sudah menandatangani PerjanjianEkstradiksi dengan Australia yang sistem hukumnya juga berbeda. Agaknya, perbedaan sistem hukum bukan alasan sebenarnya.Singapore Paradox sudah waktunya diakhiri jika Singapura bersikap tulus membantu negara seperti Indonesia untuk menjadi mitra jangka panjang yangakan saling membantu. Indonesia dan Singapura memiliki masa depan cerah jika bisa berjalan bersama. Perjalanan bersama tak akan terhambat karenaberhentinya arus uang haram dari negeri ini.Bagaimanapun Singapura adalah tempat Indonesia berpaling dalam bisnis di masa datang. Banyak hal yang dimiliki Singapura, belum dimiliki Indonesia.Mengapa kita tak melihat masa depan dalam perspektif seperti ini?Todung Mulya Lubis*Ketua Transparency International- Indonesia *

No comments: