Saturday, June 16, 2007

Sertifikat BI, buah simalakama yang "nggilani"

Posted: 29 Maret 2007

Assalaamu 'alaikum,

Buah simalakama itu bernama SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Buah simalakama itu berarti dimakan Bapak mati kalau tidak dimakan ibu mati.
Setelah mendapatkan feed back dari beberapa sumber, akhirnya saya bisa "mengerti" sedikit mengenai SBI, dan bagaimana kerjanya. Di situ ada fakta yang "nggilani", yang membuat sangat wajar Pak JK "ngamuk".

SBI adalah Sertifikat Bank Indonesia, seperti deposito juga yang dikeluarkan oleh BI untuk jangka waktu 1-3 bulan. Bunga SBI kini adalah sekitar 9%, dan itu masih sedikit di bawah bunga deposito dari lembaga keuangan lain, seperti bank, asuransi dll. Ini wajar sekali, karena bukan apa-apa, SBI itu deposito yang lebih safe daripada deposito apa pun, sebab ia dimiliki oleh negara, dan logikanya negara gak bakal bangkrut. Makin tinggi bunga SBI, maka akan makin banyak dana masyrakat yang terserap. Ini terjadi pada era krisis ekonomi akhir 1990-an dulu, dimana bunga SBI mencapai 14%, karena kala itu Pemerintah memang sedang membutuhkan hard cash dalam jumlah besar. SBI boleh dibeli oleh lembaga keuangan atau perorangan.

Tujuan pengeluaran SBI tak lain dan tak bukan adalah untuk mengontrol nilai rupiah dengan menarik kelebihan dana yang ada pada masyarakat, serta menahan jumlah uang yang berada di masyarakat, di mana dengan hal ini, maka inflasi diharapkan dapat dikontrol. Sekali lagi, tujuan SBI adalah untuk mengontrol nilai rupiah, dan kita semua tau, rupiah itu punya "hobby" aneh, selalu naik turun bak "roller coaster". Turun dan naiknya nilai mata uang memberikan efek yang besar buat perkonomian.

Di Jepang, dulu saya pernah baca, perubahan 1 yen akan memiliki efek ekonomi sebesar 1 trilyun yen (80 trilyun rupiah). Saya kurang tau, kalau di Indonesia, berapa efek ekonomi dari perubahan rate 100 rupiah. Nilai rupiah yang terlalu kuat, salah satunya akan menyebabkan ekspor kita menjadi tidak kompetitif. Namun nilai rupiah yang terlalu lemah, sebaliknya salah satunya dapat menyebabkan inflasi. Jadi harus dicari nilai rate yang seimbang.

Bunga SBI yang 9% itu memang masih di bawah bunga deposito, namun masih di atas bunga tabungan, yang kini berkisar 5% atau hanya 3% untuk saldo di bawah 1 juta rupiah. Logikanya begini, kalau ada sebuah bank berhasil menghimpun dana dari nasabahnya sebesar 1 trilyun rupiah, kemudian uang tersebut dibelikan SBI semuanya, maka bank itu akan mendapatkan bunga SBI sebesar 9% atau 90 milyar rupiah. Kemudian yang dibayarkan ke nasabah bank adalah 5% alias 50 milyar rupiah. Yang sisanya 40 milyar itu akan menjadi milik bank.

Jadi kalau suatu bank mengumpulkan 1 trilyun uang nasabah, maka tanpa kerja bank tersebut akan kebagian 40 milyar rupiah. Kalau BCA punya 30 trilyun SBI, maka BCA akan dapat bunga SBI 2,7 trilyun rupiah, dimana 1,2 trilyun akan masuk ke kantongnya secara cuma-cuma tanpa perlu kerja keras.

Inilah yang membuat Wapres JK berang bukan main. Siapa bilang nyari duit di Indonesia itu susah? Fakta di atas membuktikan "UANG TIDUR" sekali pun bisa beranak pinak, tanp kita perlu mengeluarkan setetes keringat pun. Wajarlah Wapres JK berujar ini bak perampokan yang luar biasa. Yang diinginkan oleh Pemerintah adalah uang itu diputar sehingga perekonomian kita jadi bergerak. Boleh jadi pihak bank punya pemikiran lain, misalnya daripada diputar akan beresiko, lebih baik uangnya ditiduri saja. Toh bunga 9% sudah lumayan banget.

Sekarang masalahnya begini, BI itu bukanlah profit center atau badan usaha seperti bank-bank konvensional yang beroperasi untuk meraih keuntungan. Tugas BI salah satunya adalah mengontrol nilai mata uang rupiah, antara lain dengan mengeluarkan SBI. Kini darimana BI punya uang untuk membayar bunga SBI? Tentunya dari negara, salah satunya yaaa dari PAJAK-PAJAK KITA ini.

KASIAN DEH LO! (no offence yah) Kerja banting tulang, dan diburu-buru untuk bayar pajak, bahkan kini mau beli rumah, pinjam duit dll, disyaratkan harus punya NPWP dulu, ehh uang pajaknya dipakai untuk bayar bunga SBI. Itu sama artinya kitee pribadi ngegaji buta para petinggi bank, padahal mereka ongkang-ongkang kaki saja.

Maksud Pemerintah sebenarnya baik, yakni untuk mengontrol nilai rupiah agar tetap stabil, dimana efek ekonomi dari perubahan kurs rupiah sangatlah besar. Namun yang ada, Pemerintah "malah dikadali". Inilah yang dinamakan buah simalakama. Harus ada peraturan yang tegas agar uang tidur ini bisa diputar. Saya juga penasaran apakah di negara lain, ada juga fenomena SBI seperti di Indonesia. Akar permasalannya, adalah naik turunnya nilai rupiah bak roller coaster.

Siapa yang bermain rupiah dan apa motivasi sesungguhnya, inilah yang harus "ditembak pula. Kadang saya sampai geleng-geleng kepala dengan keajaiban nilai tukar rupiah. % tahun lalu SGD 1 = 4500 rupiah, namun kini sudah SGD 1 = 6000 rupiah. Perubahan dalam 1-2 bulan kadang-kadang sekitar 200 rupiah. Bayangin saja, kalo anda nukerin uang SGD 5000. Maka cuma tinggal nunggu sebulan saja, tanpa kerja anda bisa dapatkan uang 1 juta rupiah, suatu nilai yang masih di atas UMR buruh kita.

Siapa bermain rupiah? Apa motivasinya? Dan kenapa Pemerintah kita kesulitan mengontrol nilai rupiah? Hal ini jadi pertanyaan tersisa yang terkadang luput dari perhatian kita sebagai orang kebanyakan.

BTW, pajak tetap dibayar yeee. Abis siapa lagi yang mau ngebiayain negara kalo gak kita-kita sendiri. Yakinlah, Pemerintah sedang memikirkan yang terbaik buat bangsanya. Kalau pemanfaatan pajak adalah benar untuk pembangunan, tentulah kita akan senang. Namun kalau akhirnya terpakai untuk unnecessary thing ataupun malah dikorupsi inilah yang bikin kecewa dan sakit hati.

Akhirul kalam, mohon tulisan di atas dikoreksi. CMIIW deh.

Wassalaam,

Papa Fariz
FS account: boedoetsg@yahoo.com

No comments: