Saturday, June 9, 2007

Tawakkal dan transparansi dalam bersedekah

Posted: 23 Januari 2006

Kata kuci: SEDEKAH, TRANSPARANSI dan TAWAKKAL.

Assalaamu 'alaikum,

Misteri mengenai terhentinya penayangan sinetron favorit sebagian pemirsa, Astaghfirullah, akhirnya sedikit demi sedikit bisa terpahami.
Penghentian itu tak lain untuk men-dilute kembali mind set di masyarakat, yang mungkin sejak sinetron itu naik tayang, membuat masyarakat berpikir
terlalu jauh mengenai campur tangan jin. Suami-isteri bertengkar, harus di-ruqyah. Belum dapat jodoh, harus di-ruqyah, kerja berpindah-pindah,
harus di ruqyah dsb. Yang akhirnya akan berujung pada pemikiran, setiap masalah disebabkan oleh jin, tanpa kita mau menganalisa dengan nalar,
untuk memahami akar penyebab masalah tersebut sekaligus mencari jalan penyelesaiannya.

Seorang ustadz, yang juga penulis ternama, bahkan sempat berucap kepada saya, bahwa sebenarnya tayangan sinetron "religius" yang sedang
kondang saat ini, tak lebih dari suatu "penghinaan" terhadap sang Khalik. Hingga sang Khalik terkesan sangat kejam dan banyak menghukum
para penentang-nya, secara langsung di dunia. Padahal Sang Khalik sesungguhnya adalah Maha Kasih. Kalaupun ada kejadian real seperti
dalam tayangan tersebut, itu karena agar diambil hikmahnya, dan terjadi dalam lingkup terbatas, bukan secara genereal.

Kata Maha Kasih inilah yang kini membidani kelahiran sinetron baru di layar kaca, berjudul Maha Kasih. Suatu drama yang hendak memvisual-kan
ke-Maha Kasih-an Sang pencipta terhadap para hamba-Nya yang banyak bersedekah dan beramal jariah. Yang juga menggambarkan keajaiban
andaikan kita mencoba menunaikan sunnah yang satu itu. Walau begitu, di dalam hati kecilku sempat terbesit, apakah nantinya orang tidak
akan berpikir secara instan, pokoknya SEDEKAH terus, Insya Allah hidupku akan membaik, tanpa pernah mau berupaya keras semaksimal mungkin?
Dan aku juga sempat menyangsikan, apakah virus sedekah itu, yang merupakan ibadah sunnah, akan mampu menyebar di antara kita, sedangkan
ibadah wajibnya yang bernama Zakat, terutama zakat maal dan penghasilan, saja tidak mampu ditunaikan secara tuntas oleh kita. Yang wajib saja
tak mampu, apalagi yang sunnah? But it's OK lah, mungkin tidak pada tempatnya kita berpikir pesimis seperti itu.

Berbicara tentang sedekah, apakah kita boleh bersedekah di luar batas kemampuan kita, bahkan bolehkah bersedekah dengan berutang, tanyaku
pada seorang ustadz muda yang baru kukenal di akhir minggu lalu. Katanya, tidak apa-apa, ibaratnya kita pinjam beras dengan orang untuk menangkap ayam,
setelah ayam tertangkap, kita tinggal mikir mengembalikan beras utangan tersebut. Benarkah demikian, pikirku? Apakah boleh kita paksakan
diri kita untuk menjalani ibadah sunnah yang di luar kemampuan kita? Bukankah lebih baik andaikan dilakukan semampu kita saja?

Ingatanku melayang jauh pada seorang kerabatku yang kini harus menghabiskan hari-hari muda dan tuanya di sebuah dusun terpencil di pulau Jawa.
Di masa lalunya, dia pernah terlibat dalam suatu organisasi yang konon ingin mendirikan negara religius secara instant, dimana pendirian tersebut memerlukan dana
penunjang yang tidak sedikit, yang berujung pada dibebankannya kepada para pengikutnya. Infak, sedekah, dengan cara apa saja dan sebesar-besarnya.
Konon, semakin besar bersedekah dan infak kepada mereka, semakin besar pula pahala-nya. Mungkin pahala dan ridho Allah yang hendak dicarinya semata,
namun pesona brain washing dari sang penggagas itu menggerakkan semua hati dan dana miliknya untuk diserahkan kepada organisasinya itu.
Diserahkannya semua penghasilannya sebagai sedekah dan infak kepada mereka. Keluarganya meradang dan merana, anak isteri tak terurus.
Sampai akhirnya Allah menyadarkan dia untuk kembali ke keluarganya, merajut masa depan bersama istri dan sang buah hati, walau kini ia harus mengungsikan
diri ke dusun terpencil, menghindar dari kejaran para mantan teman sejawatnya.

Adalagi contoh ekstrem lain, seorang pemuda di kampung sebelah, tega melakukan pencurian hanya demi untuk bisa bersedekah bagi kelompoknya.
Pokoknya bersedekah ke sana pikirnya, dengan whatever cost. Akhirnya ia pun diusir dari kampungnya sendiri, dengan sang orang tua menahan malu sambil
bertanya-tanya mengapa ia melakukan itu demi sedekah. Aku cuma merenung jauh, haruskah bersedekah itu dipaksakan di luar kemampuan kita?
Namun di sini aku juga melihat betapa dahsyatnya sebuah penerapan pemahaman atau brain washing,yang mampu memukau dan menggerakkan seseorang untuk
meyakininya dan melakukan apa yang dikehendaki oleh si penggagas. Brain Washing, yang kadang bernilai positif dan negatif, yang kini banyak diejahwantahkan
dalam bentuk konsultasi spritualis. Dari sinilah biasanya para pesertanya seakan terbius hingga mau berkorban apa saja mengikuti ide sang penggagas,
yang boleh jadi itu bernilai positif, namun boleh jadi pula bernilai negatif, dimana salah satunya adalah bersedekah, yang mungkin hanya dan kepada si penggagas itu,
tanpa kita tau dan memahami kemana akhirnya sedekah kita itu bermuara.

Saat pikiranku dipenuhi tentang hal sedekah, senja lalu, seorang sobat bercerita di saat-saat kami dalam perjalanan untuk menikmati Sop Tulang yang memang
sangat lezat. Katanya, suatu ketika saat dia makan bersama dengan seorang ustadz, yang juga teman sejawatnya, dan sejawatku, dia didatangi oleh seorang pengemis.
Ketidaktegaannya menggerakkan hatinya untuk menyumbang ala kadarnya kepada sang peminta-minta itu. Namun, sesaat setelah pengemis itu pergi, sang ustadz muda
menjabarkan pikirannya mengapa dia tidak tergerak untuk memberikan sedekah apapun baru saja kepada orang tersebut. Memang bersedekah itu baik, namun kita
juga mempunyai tanggung jawab atas hendak diapakannya uang itu oleh sang penerima. Andaikan sang peminta-minta itu memakai uang sedekahan kita untuk
bermabuk-mabukan, berjudi, atau berbuat maksiat lainnya, bukankah kita juga terkena pertanggungjawabannya secara tidak langsung? Bukankah kita juga punya
pertanggungjawaban sosial, dan bukan asal sedekah saja, terhadap uang yang kita berikan?

Bukankah sebaiknya kita harus tau juga TRANSPARANSI akan dikemanakan dan digunakan untuk kita itu nantinya? Bukan cuma asal sedekah, melepas uang sambil
berharap pahala semata. Kalau ditarik garis lurus, kita akan temui fenomena senada di jalanan ibu kota tercinta, yang dibanjiri dan dipenuhi oleh para pengemis,
yang konon dikomandani oleh para orang gila yang tega memeras keringat para fakir di ibukota. TRANSPARANSI, itulah yang harus kita tau dan selami, agar pahala
yang dari sedekah kita dilipatgandakan karena telah dipakai untuk sesuatu yang bermanfaat.

Terhadap bunda Fariz pun, aku sampaikan pula, alangkah baiknya andaikan zakat, infak dan sedekah itu diberikan kepada badan yang secara resmi dan diyakini mampu
mengelolanya secara transaparan dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan publik juga. Alangkah baiknya andaikan disalurkan semisal kepada badan resmi seperti
BAZIS, yang semoga mengelolanya secara transparan. Dan andaikan diberikan kepada badan penaung umat, itu akan lebih baik, karena dana kita akan disalurkan kepada
seluruh umat dan bukan kepada golongan tertentu atau tidak jelas rimbanya.

Kataku kepada dirinya lagi bersedekahlah sesuai kemampuan kita, sambil berharap pahala dan ridho dari-Nya. Namun jangan pernah berpikir jauh bahwa sedekah akan
mengubah kehidupan kita secara drastis. Kalau Allah menghendaki, memang semua itu akan terjadi, hanya dengan Dia berucap Kun Fayakun saja. Namun Islam adalah
agama yang sangat luas dan dalam, sedekah bukanlah segala-galanya di dalam Islam, melainkan sebuah amalan sunnah yang mungkin hanya sebagian kecil dari implementasi
ajaran Islam yang Maha Kasih. Islam itu terlalu luas untuk disempitkan hanya dengan makna sedekah saja.

Dan yang terpenting, Islam mengajarkan TAWAKKAL, di mana sebagai Hamba Allah kita wajib berupaya semaksimal mungkin namun menyerahkan sepenuhnya hasilnya
kepada Allah semata. Islam mengajarkan kita berusaha dan berusaha, karena itu tidak pada tempatnya andaikan kita menggantungkan perubahan hidup kita secara gratis,
hanya dengan berharap pada pahala sedekah yang ajaib. Ya Rabb-ku, ampunilah diriku, dan aku tidak bermaksud meragukan sunnah Rasul-mu untuk melakukan sedekah
ataupun meragukan besarnya pahala sedekah dari diri-Mu. Hanya yang kumau agar diriku, bisa bertawakkal kepada-Mu tanpa terlalu banyak meminta kembali dari-Mu,
apalagi hanya dari sejumput sedekah yang pernah aku berikan.

Maaf kalau tulisan ini terlalu panjang dan membosankan, namun semoga makna yang tersirat dan tersurat dapat tersampaikan dengan baik.

Wassalaam,

Papa Fariz

No comments: