Saturday, June 9, 2007

Dari BBM, BLT sampai pemanfaatan zakat

Posted: 11 Oktober 2005

Pak Yusuf Kalla pernah tanya kepada seorang Ibu, saat kunjungannya untuk sosialisasi BBM.
Katanya, "Ibu pilih mana, BBM tidak naik tapi tidak dapat 100 ribu, ataukah BBM naik tapi dapat 100 ribu?"
Jawab sang Ibu, ya mending pilih BBM tidak naik walau gak dapat100 ribu.
Kalau saya seeh, tentunya pilih BBM tidak naik tapi dapat 100 ribu, he he.
Kidding bae.

Saat pulang buka puasa Sabtu lalu, saya sempat berbicara sedikit dengan seorang teman,yang petinggi anak perusahaan Pertamina.
Menurut beliau, kenaikan BBM memang sudah seharusnya dilakukan sejak lama.
Hanya mungkin karena ingin tetap populer di mata rakyat, maka beberapa presiden terdahulu enggan menaikkannya.
Salut Pak SBY yang berani tidak populer demi menyelamatkan ekonomi bangsa.

Sejujurnya secara net, lebih banyak minyak yang diimport daripada yang di ekspor.
Dengan kenaikan subsidi yang sudah di luar logika, ekonomi Indonesia akan semakin payah. Namun teman saya yang lain, mengeluh, Pemerintah maunya harga BBM ber-standar internasional.
Tapi salary kita dan standard hidup kita, masih jauh dari standar internasional.
Kok setengah-setengah sihh, tukasnya sewot.
Kan sekarang harga-harga semua naik, dan rakyat pada kenyataannya semakin susah saja.
Banyak lagi dehh cerita pro dan kontra tentang kenaikan BBM.

Satu lagi yang cukup "mengenaskan", kompensasi BBM diwujudkan dengan acara bagi-bagi uang. Suatu cara yang kurang mendidik, walau mungkin bisa jadi setetes air pelepas dahaga untukjangka pendek.
Sudah bisa ditebak, berbagai penyimpangan terus terjadi.
Banyak yang tidak berhak menerima, tapi terdaftar jadi penerima.
Ada yang memasukkan kerabatnya sebagai penerima.
Ada pengurus kampung yang menyunat dana kompensasi.
Ada pula yang seharusnya lebih berhakmenerima, tapi gak kebagian kartu KKB, karena gak punya KTP, yang untuk mengurusnya katanya berkait dengan pungli-pungli juga.

Wuahh kompleks juga. Seakan bagaikan jalan tak berujung.
Lebih tepat disebut sebagai lingkaransetan yang memang tak berujung-pangkal.
Susah dicari solusinya, tapi kita tak boleh menyerah.
Ndak enak juga rasanya kalau komplain melulu, karena kita semua sudah bosan dengar keluh-kesah tentang nestapa bangsa ini.
So what gitu lho solusinya?

Entahlah.Namun, Sabtu lalu itu, Pak Ustad yang duduk di sebelah saya saat berbuka puasa, sempat berucap,andaikan di Indonesia semua orang bayar zakat sebagai mana mestinya, tentulah kita akan sampai masa seperti zaman khalifah Umar bin Abdul Azis.
Tak ada lagi yang mau menerima zakat, karena tak ada lagi yang merasa berhak menerimanya.
Semua ingin membayar zakat.
Potensi kita besar sekali,karena umat Islam sana berjumlah 200 juta orang.
Gak terbayangkan...

Yup, di atas kertas begitu, namun berapa banyak pula yang MENGAKALI supaya ndak usah bayarzakat, atau paling tidak pengeluaran zakat dibuat seminimal mungkin.
2,5% keliatan kecil, namunkalau dikumpulkan akan luar biasa jumlahnya.
Namun jumlah 2,5% dari penghasilan akan terasa berat apabila tidak ada ke-ikhlasan ataupun paksaan dari diri kita.
Apalagi kalau 2,5% itu ditumpuk berbulan-bulan.
Tentulah ujung-ujungnya kita akan jadi enggan mengeluarkannya.

Tambah Pak Ustadz lagi, itulah bedanya orang beriman dan bukan beriman. Sebenarnya diri kitasendiri yang tau berapa zakat yang seharusnya kita keluarkan.
ASK YOURSELF PLEASE.
So, walau mungkin saat ini terasa kecil impact-nya, marilah kita mulai dari diri sendiri, dari sekarangdan dari hal-hal yang kecil untuk berbuat kebajikan.
Misalnya dengan menunaikan zakat sebagaimana mestinya.
Barangkali suatu ketika nanti, zakat di Indonesia bisa menjadi penolong kenestapaanpara kamu papa di bumi pertiwi.
Barangkali nanti saat hayat dikandung badan, saya bisa menyaksikansuatu masa dimana tak ada lagi yang mau menerima zakat di nusantara tercinta.

Wassalaam,

Papa Fariz

No comments: