Posted: 21 Juni 2007
Assalaamu 'alaikum,
Punya teman lulusan teknik fisika, eee kerjanya di bidang IT. Yang lulusan teknik elektro pun sama juga, bidangnya kini adalah IT. Temanku yang lulusan teknik mesin pun gak ketinggalan, kerja di IT juga. Yang teknik industri larinya lagi-lagi ke IT.
Kuliahnya beda, belajarnya beda, tapi bidang pekerjaannya sama. Kalau gitu buat apa kuliah itu dibedakan jurusannya kalo akhirnya ujungnya sama? Kalau gitu buat apa kuliah susah-susah kalau ilmunya gak dipakai nantinya? Kenapa gak dipilih ilmu untuk bidang yang akan ditekuni saja, biar tambah profesional nantinya? Ataukah cuma sekedar pola pikirnya saja, dibandingkan ilmu itu sendiri, yang dipakai nantinya?
Ada yang lebih ekstrem lagi. Sarjana hukum, kerjanya di asuransi. Tapi sarjana perikanan ikut-ikutan kerja di asuransi yang sama. Yang lulusan MIPA pun juga ada di asuransi yang sama. Pendeknya siapa saja boleh masuk kerja di situ asalkan lulus test.
Bahkan di Jakarta ada bank internasional terkenal, yang agresif hunting para lulusan luar negeri, terutama master untuk kerja di situ, gak peduli apa bidang orang tersebut. Semua juga sudah tau, salah satu universitas negeri ternama, yang sejatinya mengurus pertanian, tapi alumnus-nya terkenal berlimpah di berbagai bidang pekerjaan.
Kalau gitu untuk apa belajar susah-susah berbagai disiplin ilmu? Kalau gitu untuk apa disediakan sarana dan fasilitas canggih penelitian kalau akhirnya bidang tersebut tidak dikembangkan? Tapi memang realitanya begitu. Sebab kalau semua lari ke bidang yang penelitian, ya gak cukup dong lapangan kerja di situ.
Tapi anak-anak Sosial di SMA pada menjerit-jerit sebab bidang sosial di universitas pun di sikat anak-anak IPA juga. Itu sebenarnya sudah nasib mereka, karena jurusan sosial di SMA sebenarnya adalah jurusan pembuangan untuk mereka yang termarjinalisasi di bidang ilmu dan pendidikan. Jadi jangan salahkan anak IPA.
Saya jadi ingat dengan kata-kata seorang dosen saat sempat mengenyam setahun pendidikan di Depok dulu. Katanya di Indonesia sulit dicari orang yang benar-benar spesial di suatu bidang, tau mendetail, serta prestasinya diakui oleh dunia internasional, seperti Pak Habibie gitu. Yang ada adalah ahli-ahli marjinal. Taunya hanya sepenggal-sepenggal, dan di permukaan saja. Namun prestasi akademik yang diakui dunia malah gak muncul dari mereka.
Di kita biasa, orang teknik ngomong politik, orang sosial jadi mengurus Iptek, yang lulusan hukum koar-koar masalah ekonomi dan lain-lain. Semuanya jadi gado-gado. Gado-gado memang enak dimakan. Tapi kalo kebanyakan tetap aja jadi mblenek rasanya. Di situ pengamat terlalu banyak, namun pemikir masih sedikit, apalagi pemikir yang mampu menterjemahkan pikirannya ke dalam dunia realita.
Orang kita memang pintar buat konsep, tapi lemah dalam aktualisasinya. Banyak yang punya wacana pemikiran bagus, tapi bingung bagaimana mengimplementasikannya. Masalahnya beragam, ada yang gak ada salurannya, ada yang gak punya kekuatan, ada yang gak ada PD, dan ada pula yang memang cuma pinter ngomong doang.
Ataukah memang sudah jadi garis tangan kita untuk menjadi bangsa dengan ahli yang marjinal? Alias tau banyak hal, tapi hanya di permukaan semata? Dan kalau sudah mau masuk ke intinya malah bakekok karena sebenarnya memang kemampuannya gak segitu?
Padahal ahli spesialis sangat dibutuhkan karena dia yang paling tau dan paling bisa mengembangkan sesuatu itu gimana nantinya. Sama saja dengan beda antara dokter spesialis dan dokter umum. Dokter umum tetap diperlukan tapi dokter spesialis harus ada. Begitulah dengan bidang lainnya. Sayangnya semuanya pada royo-royo jadi ahli marjinal. Kalaupun ada yang kepengen jadi ahli spesialis tapi kadang nanggung karena terhambat dana, sarana dan fasilitas.
Gak papa deh, kalau memang jalan hidup kita jadi ahli marjinal. Gak papa deh, kalau memang kerjanya sama meski bidang yan dipelajari beda. Toh semuanya sama, sama-sama cari buat kebutuhan hidup. Yang dicari sama bentuk dan sama barangnya. Dan barang yang nyata itu namanya uang.
Memang saluran boleh beda, tapi ujungnya sama. Karena ujungnya sama tapi salurannya beda-beda, maka susah dicari saluran khusus. Dan itu artinya memang kita sudah "terprogram" untuk jadi ahli marjinal dan bukan ahli spesialis.
Hanya sekedar intermezzo.
Wassalaam,
Papa Fariz
Punya teman lulusan teknik fisika, eee kerjanya di bidang IT. Yang lulusan teknik elektro pun sama juga, bidangnya kini adalah IT. Temanku yang lulusan teknik mesin pun gak ketinggalan, kerja di IT juga. Yang teknik industri larinya lagi-lagi ke IT.
Kuliahnya beda, belajarnya beda, tapi bidang pekerjaannya sama. Kalau gitu buat apa kuliah itu dibedakan jurusannya kalo akhirnya ujungnya sama? Kalau gitu buat apa kuliah susah-susah kalau ilmunya gak dipakai nantinya? Kenapa gak dipilih ilmu untuk bidang yang akan ditekuni saja, biar tambah profesional nantinya? Ataukah cuma sekedar pola pikirnya saja, dibandingkan ilmu itu sendiri, yang dipakai nantinya?
Ada yang lebih ekstrem lagi. Sarjana hukum, kerjanya di asuransi. Tapi sarjana perikanan ikut-ikutan kerja di asuransi yang sama. Yang lulusan MIPA pun juga ada di asuransi yang sama. Pendeknya siapa saja boleh masuk kerja di situ asalkan lulus test.
Bahkan di Jakarta ada bank internasional terkenal, yang agresif hunting para lulusan luar negeri, terutama master untuk kerja di situ, gak peduli apa bidang orang tersebut. Semua juga sudah tau, salah satu universitas negeri ternama, yang sejatinya mengurus pertanian, tapi alumnus-nya terkenal berlimpah di berbagai bidang pekerjaan.
Kalau gitu untuk apa belajar susah-susah berbagai disiplin ilmu? Kalau gitu untuk apa disediakan sarana dan fasilitas canggih penelitian kalau akhirnya bidang tersebut tidak dikembangkan? Tapi memang realitanya begitu. Sebab kalau semua lari ke bidang yang penelitian, ya gak cukup dong lapangan kerja di situ.
Tapi anak-anak Sosial di SMA pada menjerit-jerit sebab bidang sosial di universitas pun di sikat anak-anak IPA juga. Itu sebenarnya sudah nasib mereka, karena jurusan sosial di SMA sebenarnya adalah jurusan pembuangan untuk mereka yang termarjinalisasi di bidang ilmu dan pendidikan. Jadi jangan salahkan anak IPA.
Saya jadi ingat dengan kata-kata seorang dosen saat sempat mengenyam setahun pendidikan di Depok dulu. Katanya di Indonesia sulit dicari orang yang benar-benar spesial di suatu bidang, tau mendetail, serta prestasinya diakui oleh dunia internasional, seperti Pak Habibie gitu. Yang ada adalah ahli-ahli marjinal. Taunya hanya sepenggal-sepenggal, dan di permukaan saja. Namun prestasi akademik yang diakui dunia malah gak muncul dari mereka.
Di kita biasa, orang teknik ngomong politik, orang sosial jadi mengurus Iptek, yang lulusan hukum koar-koar masalah ekonomi dan lain-lain. Semuanya jadi gado-gado. Gado-gado memang enak dimakan. Tapi kalo kebanyakan tetap aja jadi mblenek rasanya. Di situ pengamat terlalu banyak, namun pemikir masih sedikit, apalagi pemikir yang mampu menterjemahkan pikirannya ke dalam dunia realita.
Orang kita memang pintar buat konsep, tapi lemah dalam aktualisasinya. Banyak yang punya wacana pemikiran bagus, tapi bingung bagaimana mengimplementasikannya. Masalahnya beragam, ada yang gak ada salurannya, ada yang gak punya kekuatan, ada yang gak ada PD, dan ada pula yang memang cuma pinter ngomong doang.
Ataukah memang sudah jadi garis tangan kita untuk menjadi bangsa dengan ahli yang marjinal? Alias tau banyak hal, tapi hanya di permukaan semata? Dan kalau sudah mau masuk ke intinya malah bakekok karena sebenarnya memang kemampuannya gak segitu?
Padahal ahli spesialis sangat dibutuhkan karena dia yang paling tau dan paling bisa mengembangkan sesuatu itu gimana nantinya. Sama saja dengan beda antara dokter spesialis dan dokter umum. Dokter umum tetap diperlukan tapi dokter spesialis harus ada. Begitulah dengan bidang lainnya. Sayangnya semuanya pada royo-royo jadi ahli marjinal. Kalaupun ada yang kepengen jadi ahli spesialis tapi kadang nanggung karena terhambat dana, sarana dan fasilitas.
Gak papa deh, kalau memang jalan hidup kita jadi ahli marjinal. Gak papa deh, kalau memang kerjanya sama meski bidang yan dipelajari beda. Toh semuanya sama, sama-sama cari buat kebutuhan hidup. Yang dicari sama bentuk dan sama barangnya. Dan barang yang nyata itu namanya uang.
Memang saluran boleh beda, tapi ujungnya sama. Karena ujungnya sama tapi salurannya beda-beda, maka susah dicari saluran khusus. Dan itu artinya memang kita sudah "terprogram" untuk jadi ahli marjinal dan bukan ahli spesialis.
Hanya sekedar intermezzo.
Wassalaam,
Papa Fariz
Web blog: http://papafariz.blogspot.com/
FS account: boedoetsg@yahoo.com
FS account: boedoetsg@yahoo.com
No comments:
Post a Comment