Posted: 21 September 2007
Assalaamu 'alaikum,
"Orang Indonesia itu baik-baik dan polos, tapi punya potensi teknologi yang mengagumkan sejak beberapa puluh tahun lalu", demikianlah kesan dan pesan saya manakala ditanya oleh Bapak yang biasa mengantar saya kemana-mana, manakala kami berkunjung ke Waduk Jatiluhur berikut PLTA-nya bulan lalu. Kalau anda pergi ke Bandung, dan punya waktu senggang, luangkanlah waktu anda untuk singgah sedikit di PLTA pertama dan kebanggaan bangsa ini.
Waduk Jatiluhur dengan PLTA Juanda-nya memang merupakan urat nadi listrik ibukota dan wilayah barat pulau Jawa. Awalnya pembangunan waduk ini ditujukan untuk mengendalikan banjir di daerah Karawang, yang merupakan lumbung padi kita. Namun akhirnya pembangunannya berkembang menjadi multi konsep, yakni untuk pembangkit tenaga listrik (PTL) dengan didirikannya PLTA Juanda dan juga PLTA Cirata, berkapasitas few hundreds MW, lalu untuk irigasi dan pengendalian banjir, selanjutnya untuk obyek wisata dan olahraga air, juga untuk pertambakan ikan air tawar dan terakhir untuk mensuplai kebutuhan air minum warga ibukota.
Tahukah anda bahwa Kali Malang itu sebenarnya adalah kali buatan untuk penyaluran air sungai untuk air minum Jakarta, dimana sungai buatan yang nama aslinya sungai Tarum Barat ini membentang dari waduk Jatiluhur dan terus turun sampai ke dekat penampungan akhir di dekat pintu air Manggarai. Kalau sungai alam di Jawa Barat itu selalu mengalir dari selatan ke utara, atau pun sebaliknya, maka Kali Malang itu menjadi satu-satunya kali yang mengalir dari Timur ke Barat. Karena memang sesungguhnya Kali Malang bukanlah buatan alam, melainkan buatan manusia. Dinamai Malang karena alirannya yang mem-"palang" aliran sungai alam lainnya. Gak sedikit orang Jakarta yang gak tau perihal asal usul Kali Malang.
Kembali ke Waduk Jatiluhur, waduk dibangun lebih dari 10 tahun, dan baru selesai pada tahun 1967 dengan bantuan teknik dari ahli Italia. Luasnya sekitar 8300 hektar atau 83 juta m2 alias seluas 8300 kali lapangan sepakbola. Ketinggian muka airnya adalah 90-120 m, dengan rata-rata sekitar 100 m. Di saat musim kemarau, pasokan air dari sungai Citarum akan berkurang, yang menyebabkan ketinggian air pun berkurang dan berpengaruh pada daya listrik yang di hasilkan. Bisa dibayangkan dengan ketinggian air waduk yang 100 meter itu, tentulah diperlukan suatu tembok raksasa yang sangat kokoh dengan kekerasan dan teknologi yang bukan main-main. Tembok bendungan utamanya pada bagian atas punya lebar lebih dari 10 meter, dan dibangun jalan aspal di situ ke tower penyalur air ke turbin.
Konon kata seorang bapak teman ngobrol saya di warung kopi di pinggir waduk itu, dimana katanya dia mengaku sebagai pensiunan pegawai PLTA itu, tembok Jatiluhur luar biasa kokoh dan kekerasan telah diuji di Amerika dengan hantaman sebesar hantaman pesawat jet tempur berkecepatan tinggi. Ini karya anak bangsa murni, tukasnya. Tembok Jatiluhur yang sederhana memang agaknya tidak main-main dalam kekokohan dan teknologinya. Suatu bukti bahwa kita memang punya teknologi yang tak kalah canggih sejak masa lampau. Jatiluhur sendiri merupakan salah satu dari Mega proyek Mercusuar, yang dicanangkan oleh Presiden kita kala itu, BK. Proyek lainnya adalah Jalan Lintas Sumatra, Jembatan Ampera, Tugu Monas, Gelora Bung Karno, Masjid Istiqlal dll. Tembok waduk dan proyek seluas 830 hektar pada tahun 1960-an, memang tergolong luar biasa. Inilah yang saya sebut sebagai "kekaguman teknologi anak bangsa".
Suatu pengalaman yang luar biasa sekaligus mendebarkan, manakala kita melongok ke dalam tower berupa tabung raksasa dari beton, tempat penyaluran air ke turbin. Bangunan berbentuk tabung ini punya diameter sekitar 40 meter. Dengan dibatasi oleh pagar hanya setinggi 1 meter, kita bis melongok ke dalam tabung beton raksasa berkedalaman 100 meter itu. Bapak driver yang mengantar saya pun, langsung ciut nyalinya dan bergetar lututnya sehingga cepat-cepat beranjak dari situ. Pagar pengaman yang cuma 1 meter untuk pemandangan mengerikan memang bisa dibilang ridicuolous. Wajarlah kalau kemudian ada beberapa orang yang bunuh diri dengan nyemplung ke dalam Waduk Jatiluhur ini.
Lantas dimana alasan bahwa orang kita baik hati, yang berkaitan dengan Waduk Jatiluhur ini? Saya hal yang bikin saya geleng kepala dan gak habis pikir, adalah pengamanannya yang super longgar. 2 tahun lalu di jiran ini, saya tinggal di ujung daerah Tampines, di sebelah Bedok Reservoir. Di situ ada bukit pasir raksasa, yang lebih tinggi dari Condo tempat saya tinggal yang sekitar 15 lantai. Bukit pasir ini megah dan luas, dan semua juga sudah tau, didatangkan dari pengerukan alam kita. Pasir di situ dipakai utamanya untuk proyek HDB atau pembangunan rumah susun di jiran. Barangkali mungkin sebagai salah satu cadangan pasir utama, gak pernah saya lihat ketinggiannya berkurang sesenti pun. Walau cuma isinya tanah luas hektaran dengan gunungan pasir, jangan harap kita bisa masuk apalagi menijau ke dalamnya.
Wilayah ini dipagari oleh pagar tinggi 3 meter dengan sign board bertuliskan Protected Area. Yang melanggar akan di"eksekusi", dengan gambar tentara menembak si pelanggar. Tumpukan pasir saja, dianggap maha penting, sehingga lihat ke dalamnya akan dihukum berat. Dianggap penting karena memang itu adalah salah satu aset negara yang harus dijaga. Demikian pula dengan pipa air minum di sini, dimana pelintasannya juga masuk restricted area, karena hal itu adalah aset maha penting negeri mereka. Lantas bagaimana dengan waduk Jatiluhur berikut PLTA-nya?
Wew, dengan pura-pura gak tau, saya sengaja main selonong ke wilayah PLTA-nya. Di pagar pintu masak, saya di stop, ditanyakan surat ijin masuk. Kata Pak Satpam surat ijin bisa didapat di bagian informasi dekat pintu masuk utama. Lalu saya bilang gak ada dan gak tau harus pakai surat ijin, tapi pengen lihat, dan minta tolong dibantu, sembari sang driver menyodorkan 5 ribuan. Apa kata satpam di situ? Wah Pak, ini ada tarifnya, kalo Bapak gak pakai surat ijin, sembari menunjuk ke tempelan di kaca. Satu orang bayar 5 ribu, jadi kalau berdua 10 ribu. Nyatanya surat ijin memang gak perlu asal kita mau bayar lagi di pintu masuk PLTA, dan ini ternyata resmi. Bedanya, kalau ada surat ijin, kita gak perlu bayar dua kali, itu aja kok.
Apakah barang dan mobil saya diperiksa? Gak ada lah cerita itu. Dengan bebasnya mobil kamu melenggang ke dalam area, lalu parkir di depan terowongan PLTA. Terowongan PLTA di kaki tembok utama agak cukup menyeramkan. Panjangnya 200 meter ke dalam, dan begitu hening sunyi senyap dan terkesan mengerikan. Di atasnya ada air dalam jumlah raksasa. Bayangkan kalo jebol saat itu, kiamatlah nyawa kita. Saya terus masuk ke dalam dengan santai, tanpa ada pemeriksaan apa pun, dan di situ saya bisa melihat turbin gede yang gedenya segede gajah ada beberapa buah. Turbin inilah penghasil ratusan Megawatt untuk keperluan listrik ibukota Jakarta, utamanya.
Saya gak kebayang, andaikan ada orang jahat, dan dia bawa bom yang sedemikian berat dan dahsyatnya. Dengan pemeriksaan selonggar itu, bom bisa masuk sampai ke dalam, dan kemudian diledakkanlah turbin beserta bendungan utama Jatiluhur. Apa jadinya nanti? Jakarta bakal gelap gulita, air bah bakal melanda dimana-mana, pasokan air minum Jakarta pun menipis dan persediaan pangan nasional terganggu karena persawahan di Karawang yang lumbung padi nasional pun tidak berfungsi akibat kurang air. Waaahh, saya gak kebayang dan itu bakal jadi bencana yang maha dahsyat nantinya. Apalagi membangun bendungan itu gak mudah. Menampung air 8300 hektar dengan kedalaman 100 meter, itu bukan perkara mudah.
Coba kita hitung sama-sama berapa volume air di situ. 8300 ha x 10.000 m2/ha x 100 m x 1000 liter/m3 adalah 8,3 milyar m3 air atau 8,3 trilyun liter air yang ditampung di waduk Jatiluhur. Kalau semua air itu tumpah ruah ke Jakarta, Jakarta yang luasnya 600 km2, dengan asumsi bahwa permukaan Jakarta semuanya adalah flat, maka secara merata akan terendam air setinggi 14 meter di seluruh bagiannya. Jatiluhur erat kaitannya dengan listrik, air minum, irigasi, tampungan air dll, lantas kenapa pengamanannya bagaikan pengamanan setingkat RT?
Bener-bener gak masuk logika, bukan? Apakah para petingginya dan petinggi kita semua gak pernah terpikir jauh seberapa pentingnya Jatiluhur dan seberapa besar dampaknya andaikan bendungan itu diganggu. Alhamdulillah sampai saat ini gak ada apa-apa, dan itu pertanda orang kita amat sangat baik. Karenanya saya agak sangsi dengan yang namanya teroris-terorisan yang keliatan "bego"nya cuma berani ngebom Hotel dan Kedubes asing. Orang kita masih baik, dan tandanya masih cinta dengan negerinya. Jangan-jangan teroris itu bukan bangsa kita atau bangsa kita yang murtad nasionalismenya.
Selepas dari situ, saya sengaja pergi bagian informasi untuk cari tau lebih banyak tentang Jatiluhur. Masih jam 2 siang boo, tapi itu kantor dah sepi. Pada kemana pegawainya? Yahh, maklum lah mereka kan pegawai negeri dengan gaji ngepas atau bahkan pegawai honorer. Susah dong diminta loyalitasnya untuk kerja keras dengan gaji ngepas. Emangnya kite volunteer, ya gak coy? Trus dengan "numpang ke belakang", saya melintasi kantor mereka. Kantor lama, yang berantakan, dan kertas berserak dimana tak terurus. Komputernya pun tahun jebot yang masih pakai FD 5 1/4 inches kayaknya. Sedih juga liat fenomena ngepasnya fasilitas, dan mungkin juga gaji mereka. Tapi apa hendak dikata, begitulah adanya, dan sayangnya banyak yang tutup mata dan tutup telinga tentang kondisi obyek vital nasional kita, bahkan mungkin bukan cuma di Jatiluhur.
Kepada mbak yang resepsionis, saya ngobrol-ngobrol. Mbaknya ramah dan senang bercanda, jadinya lumayan enak dikorek info-nya. Trus, saya todong aja, dengan bilang mbak saya pengen liat Tower dan Turbin nih, bikinin dong surat ijinnya. Ada syarat khusus gak? Si mbak cuma nyengir, sambil bilang perlu KTP aja Pak, dan uang 5000 per orang. Gak neko-neko kan? Gak ditanyain njlimet, apa motif, tujuan dll. Mungkin konsep pemikiran kita, semua orang baik, jadinya dipermudah. Kalo di jiran nan mini ini, konsepnya amankan dulu, siapa tau ada yang gak baik. Makanya konsep pengamanannya beda kali yah? Entahlah.
Jatiluhur memang obyek nasional yang sangat vital. Apalagi negeri kita sedang dilanda krisis energi ke depan. Saat ini di Jawa saja baru 70% kebutuhan listrik yang terpenuhi. Makanya jangan heran kalau listrik sering byarr peett ataupun ada pemadaman bergilir. Wong secara teknis dan data saja memang gak cukup. Orang kita pada ngamuk kalo byarrr pett. Tapi ketika didenda karena kebiasaan nyolong listrik PLN, malah balik ngamuk juga. Puyeng bener jadinya PLN, yang di saat terus merugi masih tetap berani bagi-bagi bonus serta me-mark up proyek PTL di beragam tempat. Meminta masyarakat berhemat listrik, dimana tarif listrik kita udah murah karena memang disubsidi, eee malah diketawain. Nyuruh orang hemat aja pas prime time sore hari, cuma cibiran yang didapat. Akhirnya negara memang terus nombok.
Energi listrik suka atau tidak suka memang harus dipenuhi. Kini kita pun mencari alternatif sumber daya energi. Alternatif yang paling mungkin dan futuristik adalah energi nuklir, karena ketersediaan bahan bakunya saja sampai ratusan tahun ke depan. Sekalipun andai bocor berbahaya fatal, energi yang dihasilkan luar biasa besar serta sangat efisien dan terhitung murah. Sayangnya nuklir ditentang habis, karena kita masih paranoid dengan nuklir yang dikira cuma bisa untuk ngebom kayak di Hiroshima dan Nagasaki saja. Nuklir pun difatwakan haram, LSM beserta rakyat kampung mati-matian menentangnya. Yupp, semua cuma bisa menentang tanpa bisa ngasih solusi. Kalo dibiarkan status quo kayak sekarang sementara ke depannya konsumsi listrik meningkat, byarr pett bakal sering terjadi, ujungnya rakyat marah lagi. Piye toh?
Adakah energi alternatif lain? PTL pada dasarnya memiliki prinsip yang sama. Yakni memanfaatkan fluida bergerak, baik itu angin maupun air, untuk menggerakkan turbin, dimana nantinya energi gerak akan dikonversi menjadi energi listrik. Bahan bakar, ataupun panas, dipakai untuk memanaskan air untuk menjadi uap, yang akan bergerak memutar turbin. Kalau PLTA jadi andalan, apakah mungkin di masa kini dibangun sekelas Waduk Jatiluhur yang 8300 hektar itu? Gak mungkin lah, wong orang kita kini rakus tanah. Coba deh andaikan Jatiluhur dibuat sekarang, dengan asumsi harga tanah di situ 300 ribu per meter2, maka biaya pembebasan lahan adalah 8300 ha x 10000 m2/ha x 300 rb = 24,9 trilyun rupiah! Itu baru biaya pembebasan lahan, dan belum termasuk biaya konstruksi yang harus ngeduk waduk, mindahin tanah dll. Belum lagi, kalo tiba-tiba rakyat demo minta harga tanahnya jadi 1 juta perak sambil nge-blokir proyek itu. Pembangunan terhenti dan biayanya naik habis-habisan. Mampuslah dikau Pemerintah.
PLTA jelas musykil. Kalo pakai batu bara di PLTU, ini kan mengotori lingkungan dan berefek pada global warming, nanti diportes dunia. Kalo pakai minyak di PLTU, subsidi minyak gede, kita bakal tekor, dan cadangan energi fosil cuma tinggal puluhan tahun dengan konsumsi yang sekarang. Tenaga panas bumi, dayanya kecil, tapi investasinya gede karena sulit. Mana ada investor yang tertarik. Tenaga angin? Angin kira kecepatannya masih di bawah 5 m/detik, mana bisa muterin kincir raksasa kayak di Belanda yang anginnya punya kecepatan 8 m/detik. Bio fuel aja deh? Nanti orang pada ngamuk, itu tebu kan buat makanan dan bukan buat dibikin bahan bakar. Tenaga matahari? Masih limited teknologinya dan mahal, serta saat ini dayanya juga kecil? Kalo PLTA juga tergantung pasokan air hujan, yang kini gak tentu. Tenaga ombak? Nah ini katro lagi, karena beda volume udara penggerak turbin pada PTL ombak kecil, jadi energi juga kecil. Kalo gas, sami mawon, subsidinya gede di domestik, lebih untung dijual aja ke LN. Jadi apa dong? Ya gak ada lah dan gak tau, wong kita cuma bisanya ribut dan ngeramein tanpa pernah ngasih solusi yang jelas.
Taukah anda, minggu lalu, Bangladesh, negeri berpenduduk 140 juta jiwa yang maaf, rakyatnya miskin, ribut melulu serta biang korup, telah mengumumkan akan membangun PLTN yang dijadwalkan finish pada tahun 2015. Mereka akan menggandeng Rusia untuk mewujudkannya. Bukan apa-apa, hal ini dipicu setelah tahun lalu banyak terjadi kerusuhan massal akibat rakyatnya ngamuk dengan byarr pett karena konsumsi listrik tak sebanding dengan pasokannya. Bangladesh, yang maaf, keliatannya lebih jelek dibandingkan kita, ternyata punya nyali dan berani memakai PLTN. Kalo kita, rasanya masih susah dengan pro kontra yang ada, karena kita kuatir dengan kapabilitas SDM kita dan sikap mental korup yang sudah mendarah daging di sini. Tapi kalo kita terus berburuk sangka kepada bangsa sendiri dan gak pernah positive thinking bahwa mereka mampu dan bisa, lantas, kapan majunya kita? Yang penting, untuk urusan energi adakah solusinya?
Semuanya serba mbulet untuk hal energi dan memang gak ada penyelesaiannya. Jatiluhur yang termasuk pemasok terbesar listrik kita, tetaplah jadi andalan. Walau sangat sangat vital, kenapa pengamanannya masih sekelas Siskamling RT? Bukit pasir di Singapore aja yang kalo kita acak-acak gak ngaruh apa-apa mesti harus dijaga luar biasa ketatnya, lantas kenapa Jatiluhur yang sebegitu vitalnya gak pernah dipikirkan vitalitas serta efeknya andaikan terjadi sesuatu padanya? TANYA KENAPA. Bukankah pencegahan dini lebih baik daripada penyesalan di kemudian hari. Wahh bener-bener gak habis pikir, dan bisa gila kalo memikirkannya. Tapi biarin aja, udah jadi kebiasaan kita untuk stick to status quo. Nanti kalo ada apa-apa barulah pada heboh selangit dan saling tunjuk hidung. Kebiasaan buruk yang gak pernah hilang dan gak pernah dikapoki.
Hanya sebuah sharing opini. Ada yang punya opini lain? Maaf kalau gak berkenan.
Wassalaam,
Papa Fariz
Web Blog: http://papafariz.blogspot.com
FS Account: boedoetsg@yahoo.com
No comments:
Post a Comment