Monday, January 11, 2010

Ironi Masjid Kubah Emas: trilyunan rupiah itu cuma bisa dipandangi dan bukan dimanfaatkan

Posted: 19 Oktober 2007

Assalaamu 'alaikum,

Born from the dream of a great desire to provide a beautiful, elegant house of worship as a symbol of the glory of Islam, to guide the emotions, motivate the spirit, and firm the resolve to strengthen faith and devotion. God willing, this beauty will remind worshippers of the Creator's greatness.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0610/26/lebaran/3050696.htm
http://garudamagazine.com/coverstory.php
http://selembarkertas.blogspot.com/2006/09/lusuh-di-balik-kubah-emas_27.html

Golden Dome Mosque alias Masjid Kubah Emas. Yang dimaksud di sini bukanlah Masjid Kubah Emas atau Dome of Rock di Palestina sana, alias yang ada di sebelah Masjidil Aqsa
(http://en.wikipedia.org/wiki/Dome_of_the_Rock).
Melainkan, ini adalah masjid besar nan megah yang terletak di kampung Meruyung di kawasan Depok. Pulang lebaran lalu, saat main ke rumah ipar di daerah Cinere, ada terbesit perasaan "menyesal" kenapa tadi gak belok dulu ke Masjid luar biasa ini. Pengen banget tau dan liat secara langsung. Konon katanya masjid yang dibangun dengan uang trilyunan rupiah oleh pemiliknya Hajjah Dian, pengusaha asal Serang, memiliki kubah yang berlapis emas murni 24 karat. Lidah api Monas, kebanggaan nasional kita yang juga berlapis emas murni, boleh jadi kalah dengan kubah Masjid ini. Entah kapan, suatu saat Depok yang gak jauh dari rumah, pasti bakal saya kunjungi untuk menuntaskan rasa penasaran, walau kadang terbayang juga bagaimana "sebelnya" menghadapi kemacetan di daerah sekitar situ.

Kehadiran Masjid Dian al Mahry ini tentunya membawa berkah bagi masyarakat sekitar. Di sekitar sana banyak menjamur penginapan, sekaligus tempat parkir. Masyarakat setempat pun bisa berjualan makanan, cendera mata dll. Yang jelas sisi positifnya akan menghidupkan paling tidak perekonomian masyarakat setempat. Tetamu dari berbagai pelosok nusantara yang datang ke sana, tentunya akan membelanjakan banyak uang yang menyebabkan, sekali lagi, ekonomi setempat maupun para pendatang yang bermukim, menjadi bergairah. Yang pasti aspek positifnya pastilah ada.

Masjid Kubah Emas ini bukanlah satu-satunya Masjid megah di antara kita. Banyak juga Masjid lain yang hebat banget. Tengoklah Masjid Istiqlal yang masih jadi lambang nasional saat ini. Kalau anda jalan-jalan mau nengok lumpur Lapindo, di tengah jalan, di sisi kiri jalan tol, anda bisa lihat kemegahan Masjid Agung Jatim (gak tau namanya apa), dengan kubah hijaunya yang demikian meninggi. Saya juga pernah meninjau Masjid Agung di Selangor Malaysia yang konon terbesar di Asia Tenggara, walau rasanya bakal gak ada apa-apanya dibandingkan Masjid kita yang di Depok. Pernah pula saya mengunjungi Masjid Agung Semarang yang baru jadi. Masjid ini punya tenda besi berbentuk payung raksasa di luarnya, yang bisa dibuka tutup. Ada lagi katanya Masjid Islamic Center yang tak kalah megah di bekas lokalisasi Kramat Tunggak.

Masjid megah bertaburan di mana-mana. Biayanya pun tak sedikit, bahkan yang di Depok sampai trilyunan rupiah nilainya. Siapa bilang kita ini miskin dan gak punya duit. Ada rasa bangga dengan kenyataan ini, tapi entah kenapa saya jadi sedih karena ingat salah satu hadits di salah satu buku yang pernah saya baca. Katanya di akhir zaman nanti orang akan berlomba membangun masjid secara bermegah-megahan, namun "lupa" mengisinya. Bukan isi dan aktivitas masjid yang dipentingkan, melainkan justru bentuk fisiknya yang diperhebat. Padahal tengoklah, seberapa riuhnya kegiatan keagamaan di masjid itu. Gak susah untuk tau masjid itu bermanfaat atau gak. Tengoklah jumlah jamaahnya sewaktu Sholat Subuh. Rasanya hampir di semua masjid, yang menunaikan sholat Subuh berjamaah hanyalah segelintir orang. Sholat lainnya pun juga begitu. Untuk sholat jamaah saja susah, apalagi mengisinya dengan aktivitas keagamaan, bahkan sampai ke arah diskusi mengenai negara, perdagangan dll, seperti yang pernah difungsikan seperti itu di zaman Rasulullah dulu saat masjid menjadi pusat kegiatan masyarakat. Kini masjid megah pun gak sedikit yang menjadi justru tempat rekreasi dan bukan tempat ibadah. Orang ramai berduyun ke Masjid Kubah Ema Depok, hampir seluruhnya hanya berniat untuk berekreasi.

Yang menyedihkan lagi, hmmm, andaikan uang trilyunan untuk kemegahan masjid itu bisa dialihfungsikan untuk meriuhkan aktivitas masjid, atau pun untuk mengentaskan kemiskinan, tentu lah akan terasa lebih berguna daripada sekedar untuk kosmetik tempat ibadah. Hal ini mirip dengan polemik manakah yang lebih penting, naik haji berkali-kali ataukah uang naik haji berkali-kali dimanfaatkan saja untuk kepentingan sosial? Trilyunan rupiah bukan jumlah yang sedikit. Uang itu memang hak si empunya mau diapakan. Barangkali sang empunya mau membuktikan pengorbanannya kepada Sang Khalik dengan mempersembahkan sesuatu yang terbaik secara fisik, seperti kala Habil "bertarung" dengan Qabil dan menang karena mempersembahkan yang terbaik kepada Tuhannya. Husnudzhan saja serta positive thinking akan semua itu.

Namun, kalau menilik kondisi sekeliling kita, rasanya sekali lagi, sayang sekali dan ironis sekali. Di sudut-sudut jalan masih banyak orang yang berjuang keras hanya demi mencari sesuap nasi. Kadang anak-anak pun harus menyemir dengan sekali semir 2000 perak, demi membantu ortunya, yang udah gak sempet lagi memikirkan pendidikan atau kondisi anaknya. Ada yang rela dikejar-kejar Tramtib karena jadi joki 3 in one. Dagang koran, kalo laku tiap lembarnya cuma dapat untung 100-200 perak. Pedagang asongan pun tak segan menembus panas di keramaian lalu lintas demi dapat menjual dagangannya yang cuma untung ratusan perak. Sopir dan kenek bus pusing karena macet yang menggila yang bikin uang yang dibawa pulang cuma tersisa beberapa lembar ribuan saja.

Sementara di koran-koran ramai diberitakan sekolah yang reyot dengan murid yang datang tanpa alas kaki. Atap bocor sudah biasa, guru yang gajinya sudah kecil, jangankan kepikiran tuk bantu ngebetulin sekolahnya, untuk makan saja sudah susah setengah mati. Gaji kecil dan tinggal di desa terpencil pula, jadi pengabdian yang makan hati. Yang pengen sekolah tapi gak punya duit juga banyak. Saking miskinnya, Pemerintah pun membebaskan SPP, mensubsidi BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan mensubsidi buku pelajaran. Walau begitu tetap saja masih banyak yang mau bayar sekolah aja susahnya.

Then, di daerah Babakan di sekitar Bogor, saat saya pernah nyari pembantu di situ, ternyata ada fakta mengenaskan bahwa anak gadis yang berusia 12 tahun sudah harus bekerja sebagai pembantu demi mencari sesuap nasi. Bahkan gak sedikit yang gak pernah mengeyam bangku sekolah dan terus jadi buta huruf. Rumah dari orang yang waktu itu mau saya ambil sebagai pembantu hanyalah sebuah gubug reyot dengan lantai tanah. Perabotan sudah tentu gak ada, tempat tidurnya hanyalah dipan lusuh, sampai saya gak tega untuk terus menyaksikannya. Bogor gak jauh dari Jakarta, tapi masih banyak yang gak tau fakta yang bikin miris hati. Bogor yang dekat saja sudah seperti itu, apalagi daerah pelosok lainnya.

Karenanya sangatlah memilikan ketika kita mendapati fakta di tengah-tengah kepapaan yang ada di sekitar kita, kenapa yah kita masih sanggup menghamburkan begitu banyak uang hanya untuk urusan kosmetik belaka? Apakah Allah SWT nantinya akan melihat seberapa megahnya fisik tempat ibadah kita, dan bukan usaha serta sumbangsih kita untuk menegakkan agama Allah, termasuk salah satunya peduli sosial dan pengentasan kemiskinan. Sayang seribu sayang, uang trilyunan itu akhirnya hanya bisa dipandangi saja dan bukan dimanfaatkan. Adakah kebanggaan akan Masjid bertahtakan logam mulia itu bermanfaat buat khalayak ramai dan kepentingan bangsa? Entahlah, saya gak hendak menyalahkan siapa-siapa, dan itu semua hak pribadi si empunya uang ataupun penguasa yang merasa penting membangun masjid nan megah. Tapi kok sedih saja rasanya uang yang segitu banyak hanya bisa dipandangi dan bukan dimanfaatkan. Atau mungkin barangkali zaman telah berubah, simbol menjadi lebih penting daripada esensinya. Mungkin gitu yah.

Entah lah ini cuma sebuah renungan dari hamba yang dhoif, di balik suatu kebanggaan akan kemegahan suatu simbol religi. Happy rasanya dengar sesama Muslim kaya dan banyak uang. Walau ingin rasanya agar uang yang banyak itu, sekali lagi dimanfaatkan dan bukan dipandangi, karena memang masih begitu banyak saudara kita yang miskin dan kelaparan. Suatu ironi yang mau tak mau harus kita terima karena itu adalah realita. Ataukah jangan-jangan memang kini sudah mendekati akhir zaman seperti yang telah disampaikan via hadits di salah satu alinea di tulisan ini? Kalau memang iya, ya banyak-banyakin ibadah dan bertobatlah.

Wassalaam,

Papa Fariz
Web Blog: http://papafariz.blogspot.com
FS Account: boedoetsg@hotmail.com

8 comments:

DiAn HaRuMi said...

Assalamualaikum

Papa Fariz, mau share info ajah.Masjid Agung yang ada di Surabaya namanya Masjid Al-Akbar.Tapi, lebih terkenal dengan sebutan Masjid Agung Surabaya (MAS).Memang indah dan besar.. dan dari rumah saya ke MAS hanya perlu berjalan kaki selama 5 menit saja :-)) *pamer dikit heheee*

Salam,
Dian

Rinzani said...

Ass wr wb
Bpk haris,menurut pendapat saya,papa hariz sekalipun kalau pny kesempatan utk memiliki uang sebanyak itu pasti ingin memanfaatkan nya yg sebaik baik mungkin di mata alloh,hanya belum ada kesempatan maka berkomentar dan memberikan pendapat yang seakan-akan menurut nya paling benar di lihat dari segi papa hariz saja.Seharus org pintar seperti papa hariz ini mendukung sesama umat muslim lain nya yang mau beramal seperti membangun mesjid kubah mas ini,karna belum banyak di indonesia yg memiliki kesempatan memiliki rejeki yang lebih,namun tidak berbuat apa-apa.
Seharus nya orang pintar seperti papa hariz ini mengajak umat muslim lain nya agar bisa menyisihkan sebagian rejeki nya untuk pakir miskin,anak yatim,dan rumah ibadah seperti yang papa hariz komentar itu.bukan justru menyalahkan,tidak banyak loh papa hariz yang bisa berbuat seperti ini.oleh sebab itu saya mengajak papa hariz agar kembali ke jalan yang benar,berikan dukungan yang terbaik bagi orang yang mau berbuat kebaikan seperti orang yang membangun mesjid kubah mas ini.
Saran dan pendapat papa hariz sampaikan itu,menurut saya di peruntukan buat pemerintah dan negara agar masyarakat nya lebih di perhatikan,bukan buat individu atau perorangan.demikian saran dan pendapat saya (dari gunung yang jauh dan tidak mempunyai dasar ilmu apapun),terima kasih

Unknown said...

Saya setuju bpk rinzani, pemerintah dan negara yg hrs memperhatikan rakyatnya, namun tambahan jika saja umat muslim bersatu dan mau menyumbang sedikitnya rp 5000/bln x 200jt sdh berapa bisa mengangkat fakir dan miskin. wassalam

Acce Glass said...

bener pak. papa hariz belum tentu bisa melakukan seperti itu. kalaupun berlimpah materi belum tentu papah hariz mau beramal sma org yg membutuhkan. yg ada mungkin anda akan sombong. boro boro membangun masjid. membangun hotel mungkin iya.

Acce Glass said...

bener pak. papa hariz belum tentu bisa melakukan seperti itu. kalaupun berlimpah materi belum tentu papah hariz mau beramal sma org yg membutuhkan. yg ada mungkin anda akan sombong. boro boro membangun masjid. membangun hotel mungkin iya.

Unknown said...

Bukan di pandangi tapi digunakan untuk ibadah...kecuali klo dilarang untuk beribadah baru bisa bilang hanya di pandangi..orang yg suka merantau ke sana kesini belum tentu pinter.

Unknown said...

Bukan di pandangi tapi digunakan untuk ibadah...kecuali klo dilarang untuk beribadah baru bisa bilang hanya di pandangi..orang yg suka merantau ke sana kesini belum tentu pinter.

rudy_haryanto.blogspot.com said...

Kmu kalau punya rezeki sebanyak itu juga belum tentu mau bersedekah seperti dia , jangan asal kiritik orang kalau anda belum tentu benar . Dan dengan membuat masjid yg indah itu orang² pasti semangat untu ibadah di masjid itu ,itu udah nilainya sedekah.