Posted: 20 Oktober 2007
Assalaamu 'alaikum,
Kalau tidak ada halangan, tahun 2025 kita bakal punya landmark infrastruktur kebanggaan kelas dunia. Jembatan Selat Sunda (JSS) bakal membentang menghubungkan Jawa-Sumatera. Proyek ambisius bernilai 92 trilyun ini sebenarnya telah diusulkan oleh Prof Sedyatmo sejak tahun 1960-an. Pak Harto sendiri akhirnya mencanangkan JSS sebagai salah satu dari 3 mega proyek yang diberi nama Studi Tri Nusa Bimasakti, yakni berupa Jembatan Selat Sunda, Jembatan Selat Madura dan Jembatan Selat Bali. Jembatan Selat Madura (JSM) sudah mulai dibangun di bawah kepemimpinan Bu Mega. Anekdotnya, bagian ujung di pulau Madura gak pernah selesai. Soale jembatan kan dari besi, jadinya ya ya ya. Namanya juga anekdot. JSM sendiri awalnya sempat ditolak oleh para kyai dan kaum santri di sana, karena kekhawatiran pengaruh industrialisasi terhadap kehidupan religi di Serambi Madinah itu.
Namun JSS, JSM dan JSB adalah suatu keniscayaan, dan harus diwujudkan entah kapan, mengingat begitu penting dan vitalnya fungsi kesemuanya. Pengangkutan dengan feri sudah tidak memadai, apalagi sangat dipengaruhi cuaca, utamanya angin, kondisi feri yang terbatas dan buruk, lamanya waktu tempuh dll. Bayangkan, ada 350 ribu orang tiap hari yang melintasi JSS. Saat jadi nanti, JSS akan menjadi yang TER- di dunia. Panjangnya saja 31 km, jauh lebih panjang dari jembatan Seto Ohasi, yang menghubungkan pulau Honshu-Shikoku di Jepang, yang katanya ter- di dunia walau cuma 13 km saja. Rentang tiang gantungnya yang 3,5 km, masih jauh lebih panjang dari punyanya Akashi Kaikyo Ohasi yang menghubungkan pulau Honshu-Awaji Island di Jepang yang cuma 1,9 km. Belum lagi tinggi menaranya nanti. Boleh jadi akan mengalahkan jembatan di Prancis.
Di tengah kondisi tanah yang labil karena dekat dengan volkano aktif Anak Krakatau, dimana Bapak dari gunung ini pernah melahirkan letusan maha dahsyat tahun 1883, terhebat sepanjang sejarah manusia modern, keberhasilan pembangunannya nanti juga akan menjadikan simbol kehebatan SDM dan kepakaran anak bangsa sekaligus simbol kebangkitan ekonomi dan kejayaan bangsa. Biayanya memang tidak main-main, USD 10 billion. Gak tau berapa lama BEP (break event point) bakal tercapai. Namun yang pasti mengingat manfaatnya amat sangat besar, sama seperti manfaat jalan tol Jakarta-Surabaya, maka pembangunannya adalah suatu keharusan dan suatu keniscayaan.
BTW, hmmm, Mas Tomi Winata ikut-ikutan di situ yah. Apakah Grup Arta Graha yang bakal tampil di mega proyek ambisius ini? Wew, jadi pahlawan dong Mas Tomi Winata nantinya? Ya sekali-kalilah begitu, barangkali bisa menghapus "dosa-dosa"-nya seperti yang dirumorkan banyak orang. Hmmm, Tomi Winata yah? No further comment, tapi salah sendiri, kenapa yang lain gak mau dan gak niat ngebangun proyek sepenting ini? Apa salah gitu kalo justru Mas Tomi duluan yang tergerak hatinya? Sssst, udah deh, yang penting selesaikan jembatan ini dulu. Urusan lainnya bisa sambil jalan atau dibereskan belakangan, kecuali ada yang mau nimbrung dan berkorban di proyek ini menggantikan calon investor yang udah ada.
Wassalaam,
Papa Fariz
Web Blog: http://papafariz.blogspot.com
FS Account: boedoetsg@hotmail.com
Infrastruktur Mewujudkan Mimpi "Landmark" Kebanggaan Indonesia
Apakah ada tsunami setinggi 70 meter? Tidak ada, kan? Maka, Jembatan Selat Sunda ini sangat aman dibangun," ujar konsultan senior Profesor Wiratman Wangsadinata saat ditemui di Kapal Tunas Wisesa 03 milik Artha Graha Network di perairan Pulau Sangiang, Selat Sunda, Rabu (3/10).
Salah satu momok menakutkan bagi Jembatan Selat Sunda (JSS) adalah potensi letusan Gunung Krakatau dan kemungkinan terjadinya tsunami. Namun, dalam buku Krakatoa: The Day the World Exploded (halaman 312 dan 315) yang ditulis Simon Winchester, ketinggian tsunami akibat letusan legendaris 27 Agustus 1883 hanya 35 meter.
"Jembatan ini juga akan dirancang mampu bertahan dari gempa bumi dengan skala Richter terbesar yang pernah terjadi. Bahkan, pergeseran konstruksi jembatan sejauh satu meter akibat gempa tidak akan berdampak pada JSS," ujar Wiratman, yang dikenal sebagai perintis aturan gempa pada konstruksi di Indonesia.
Pernyataan Wiratman tentang konstruksi jembatan makin diteguhkan tulisan Kuntoro Mangkusubroto, dalam kapasitas sebagai Ketua Satuan Tugas The Nusantara Tunnel, pada Kompas, Minggu, 3 November 2002. Dalam tulisannya, Kuntoro menyatakan Selat Sunda bagian utara-lokasi pembangunan JSS-merupakan zona aman.
"Di bagian utara ini diidentifikasi zona aman, di antara dua patahan, yaitu patahan Sukadana-Gunung Gede, serta patahan Rajabasa-Danau di sebelah selatan, dengan lebar 15 kilometer dan kedalaman rata-rata sekitar 20 meter-60 meter. Kecepatan angin, kecepatan arus, dan tinggi gelombang di wilayah ini secara umum dapat dikatakan tidak ganas," demikian ditulis Kuntoro.
Wiratman mengatakan, pembangunan JSS dari sisi teknologi tidak ada persoalan.
"Salah satu kendala adalah birokrat. Kendala lain, yakni tidak ada dana akibat tidak ada prioritas sehingga rencana tidak berkesinambungan. Kini saya sudah menandatangani kesepakatan prastudi kelayakan. Jadi, meski saya mungkin telah 'dipanggil' Tuhan saat JSS beroperasi tahun 2025, setidaknya saya turut mengawali," katanya.
Pada 3 Oktober lalu, Wiratman menandatangani Memorandum of Agreement Pre-feasibility atau prastudi kelayakan JSS bersama Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, dan pengusaha nasional Tommy Winata.
Selain itu, turut menandatangani para bupati dan wali kota yang wilayah pemerintahannya berada di tepi pesisir Selat Sunda. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Paskah Suzetta dan Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa ikut menyaksikan acara itu.
Panjang keseluruhan JSS adalah 31 kilometer yang terbagi dalam lima seksi (dari timur ke barat, yakni seksi I sepanjang 7,5 km, seksi II (7 km), seksi III (7 km), seksi IV (3,5 km), dan seksi V (6 km). Sementara lebar JSS dirancang 60 meter, dengan 2 x 3 lajur lalu lintas jalan raya, lintasan ganda (double track) kereta api, dan 2 x 1 lajur pejalan kaki, serta jalur darurat.
JSS akan dirancang dengan konstruksi gantung yang melewati (dari timur ke barat) Pulau Ular, Sangiang, dan Panjurit. Salah satu bentang jembatan diprediksi selebar 3,5 kilometer "melompati" palung Selat Sunda sehingga JSS mengalahkan bentang jembatan Selat Messina (antara Italia dan Pulau Sisilia), yang dibangun mulai 2007 ini.
Bentang jembatan gantung Selat Messina itu 3,3 kilometer dan hingga kini tercatat sebagai bentang jembatan terpanjang di dunia. "Sebelumnya, yang terpanjang adalah Jembatan Akashi Kaikyo di Jepang sepanjang 1.991 meter," jelas Wiratman.
"Pemerintah sangat mendukung pembangunan infrastruktur, terlebih karena mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi kawasan-kawasan yang dilintasinya. Pertumbuhan ekonomi, misalnya, akan dinikmati masyarakat di dua ujung JSS dan pulau-pulau kecil yang dilintasi jembatan," ujar Paskah.
Pemerintah dan swasta
Paskah mengatakan, pihaknya akan meninjau apakah pembangunan JSS mampu didanai APBN atau dari investasi swasta. "Namun, kami berkeinginan kalau bisa 50:50, antara dana APBN dan swasta," ujar Paskah. Dia memprediksi penyeberangan feri takkan mati begitu saja sebab masih ada beberapa jenis barang yang tetap diseberangkan feri.
Tahun ini, setiap hari sekitar 350.000 penumpang menyeberang dari Bakauheni ke Merak dan sebaliknya. Sementara jumlah kendaraan roda dua dan empat sekitar 25.000 unit per hari.
"Kami memperkirakan pertumbuhan kendaraan serta mobilitas barang dan orang lambat laun tidak mampu tertangani pelabuhan penyeberangan. Apalagi tahun 2017/2020 nanti. Kami prediksi terjadi pembatasan lalu lintas pelayaran di Selat Malaka dan Selat Sunda, maka kami berhasrat membangun JSS," kata juru bicara Artha Graha Network, Heka W Hertanto.
Mengapa jembatan bukan terowongan? Wiratman mengungkapkan 12 dasar pertimbangan dipilihnya konstruksi jembatan, antara lain lebih aman dari gempa, lebih cepat dibangun, kebakaran lebih mudah dipadamkan, nyaman bagi pelintas karena tidak memicu kecemasan, risiko kecelakaan kerja lebih rendah, dan karena tampak akan jadi landmark kebanggaan bangsa Indonesia. (haryo damardono)
Jembatan yang Satukan Jawa-Sumatera
Anita Yossihara
Penumpukan kendaraan di Pelabuhan Merak selama 10 hari di pengujung Agustus lalu adalah pengalaman buruk sopir pengangkut bahan kebutuhan pokok dari Jawa ke Sumatera dan sebaliknya. Setiap kendaraan paling cepat butuh dua hari untuk menempuh perjalanan dari Cilegon menuju Merak yang berjarak tidak lebih dari 15 kilometer.
Tidak sedikit truk pengangkut bahan makanan, seperti ikan basah, buah-buahan, sayuran, dan bumbu-bumbuan, yang terjebak di tengah antrean di Jalan Tol Jakarta- Merak. Akibatnya, bahan makanan yang mereka angkut membusuk sebelum sampai ke tujuan di Pulau Sumatera.
Penumpukan itu dipicu kenaikan jumlah volume truk yang akan menyeberang melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak, Kota Cilegon, Banten. Kondisi itu diperparah dengan banyaknya kapal roll on roll off (roro) yang menjalani perawatan (docking). Saat itu, dari 25 kapal roro yang ada, tujuh di antaranya tengah masuk dok untuk perbaikan, secara bersamaan. Dua kapal lain tidak bisa dioperasikan karena rusak permanen. Akibatnya, PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) Merak hanya bisa mengoperasikan 15 kapal.
Penumpukan kendaraan yang mengganggu distribusi barang antara Jawa dan Sumatera itu menggambarkan betapa gawatnya kondisi penyeberangan yang menghubungkan dua pulau tersebut. Jika kapal terganggu, transportasi laut pun terhambat. Jika gelombang laut tinggi di Selat Sunda, kapal-kapal pun kerap tidak dioperasikan. Gagasan menyatukan Jawa dan Sumatera melalui jembatan pun kembali hidup. Jembatan akan menjadi solusi munculnya gangguan penyeberangan.
Sebenarnya, solusi penghubung Pulau Sumatera, Jawa, dan Bali sudah dibicarakan sejak tahun 1960. Saat itu, Profesor Soedyatmo dari Institut Teknologi Bandung (ITB) mengusulkan adanya penghubung Sumatera- Jawa, Jawa-Bali, dan Jawa-Madura. Ada dua alternatif yang lalu mencuat, yakni penghubung dalam bentuk terowongan atau jembatan untuk menghubungkan Jawa-Sumatera.
Pada tahun 1965, desain percobaan infrastruktur lintas Selat Sunda antara Jawa dan Sumatera dibuat oleh tim dari ITB.
Rencana itu mendapat respons positif dari Presiden Soeharto saat berkuasa. Pada tahun 1986, ia menunjuk Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk melakukan kajian awal, tentang kondisi alam dan pengembangan teknis Selat Sunda, dengan nama Studi Tri Nusa Bimasakti.
Pada tahun yang sama, Departemen Pekerjaan Umum (DPU) melakukan studi sosio- ekonomi, terutama terkait dengan estimasi permintaan lalu lintas dari Pulau Jawa ke Sumatera dan sebaliknya. Empat tahun kemudian, tim ahli dari Jepang memberi rekomendasi bahwa jembatan kelas dunia, seperti Jembatan Selat Sunda (JSS), dapat dibangun jika pendapatan per kapita satu negara sudah 3.000 dollar AS.
Tahun 1997, kajian awal solusi penghubung Jawa-Sumatera selesai dilakukan oleh Profesor Wiratman Wangsadinata dari ITB. Guru besar yang saat itu menjadi konsultan BPPT tersebut merekomendasikan, jembatan panjang merupakan alternatif penghubung yang lebih baik dibandingkan dengan terowongan terapung.
Hasil kajian itu ditindaklanjuti dengan penandatanganan nota kesepahaman antara Pemerintah RRC dan Indonesia, untuk melakukan kajian teknologi spesifik dan investigasi geologi di Selat Sunda.
Rencana pembangunan JSS mulai gencar disosialisasikan satu tahun terakhir ini. Bahkan, pada 10 Agustus 2007 di Bandar Lampung, Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan Gubernur Lampung Sjachroedin ZP menandatangani nota kesepahaman pembangunan JSS.
Wiratman & Associates memperkirakan, pembangunan JSS membutuhkan dana sekitar 10 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 92 triliun. Dana itu bisa diperoleh dari pemerintah maupun investasi pihak swasta.
Pembangunan JSS akan dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu tahap pembuatan prastudi kelayakan (2007-2009), tahap pembuatan studi kelayakan (2009-2013), dan tahap pembangunan (2013-2025).
Rp 42 triliun
Pendapat berbeda diungkapkan oleh Siswono Yudo Husodo, seorang tokoh nasional yang pernah menjadi anggota tim pembuatan maket JSS pimpinan Ir Rochaji Gaffar dari ITB, pada 1965, saat dia masih mahasiswa ITB. Menurut dia, perkiraan dana pembangunan JSS sebesar Rp 92 triliun itu terlalu tinggi.
Menurut perhitungan Siswono, pembangunan jembatan dengan panjang 30 kilometer dan lebar 60 meter di Selat Sunda itu hanya butuh dana Rp 42 triliun. Dana sebesar itu sudah cukup untuk membangun jembatan gantung dengan menggunakan konstruksi baja. Anggaran Rp 42 triliun itu dihitung berdasarkan pengalaman perusahaan Siswono membangun Jembatan Barelang, yang menghubungkan Pulau Batam-Rempang-Galang, di Provinsi Kepulauan Riau.
Bahkan, Ir Jodi Firmansyah dari ITB pernah menghitung bahwa pembangunan jembatan di Selat Sunda dengan panjang 27 kilometer dan lebar 30 meter hanya butuh dana sekitar Rp 31,668 triliun. Peneliti pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat itu menyebutkan, sebanyak 40 persen dari nilai proyek digunakan untuk membangun fondasi di laut dalam.
Perkiraan biaya pembangunan JSS itu disampaikan Jodi dalam makalah berjudul Tantangan Alam dan Tipe Struktur Jembatan Lintas Selat Sunda yang disampaikan dalam Semiloka Infrastruktur Lintas Selat Sunda di ITB pada Februari 2003.
Agar tidak terlalu membebani keuangan negara, kata Siswono, seharusnya proyek pembangunan JSS tersebut diswastakan. Selain itu, pembangunan jembatan penghubung Jawa- Sumatera tersebut akan lebih baik jika dikerjakan oleh kontraktor dalam negeri, misalnya melalui konsorsium kontraktor nasional.
Dampak ekonomi
Selain menyatukan jalur transportasi Jawa-Sumatera, JSS akan meringankan biaya perjalanan bagi pengguna jasa penyeberangan, terutama biaya transportasi angkutan barang. Jika JSS dikelola dengan sistem jalan tol, biaya transportasi akan lebih murah daripada biaya yang harus dikeluarkan dengan menumpang kapal roro.
Saat ini, tarif tol di Indonesia dipatok Rp 180 hingga Rp 900 per kilometer. Untuk perjalanan 29 kilometer di JSS, kemungkinan biaya terendah yang dikeluarkan sekitar Rp 5.220 hingga yang tertinggi Rp 26.100.
"Kalau seandainya diberlakukan tarif termahal Rp 6.000 per kilometer untuk truk trailer, biaya yang harus dikeluarkan untuk melintasi JSS Rp 174.000. Tarif itu lebih rendah dibanding tarif kapal feri," kata Siswono.
Sementara itu, tarif penyeberangan dengan menggunakan kapal roro saat ini paling rendah Rp 8.500 untuk sepeda motor dan tertinggi Rp 810.000 untuk truk trailer.
Selain angkutan barang, tarif angkutan penumpang antarkota antarprovinsi (AKAP) pun bisa dihemat. Dengan tarif Rp 80-Rp 130 per kilometer untuk bus AKAP kelas ekonomi, tarif yang dikenakan kepada penumpang untuk menyeberangi Selat Sunda Rp 2.320-Rp 3.770 per orang. Sementara untuk menumpang kapal roro, penumpang harus membayar Rp 9.000 (dewasa) dan Rp 5.000 (anak-anak) untuk kelas ekonomi, serta Rp 12.000 (dewasa) dan Rp 8.000 (anak-anak) untuk kelas bisnis.
Keuntungan lain dari keberadaan JSS adalah penghematan waktu tempuh Merak-Bakauheni. Untuk menyeberangi selat selebar 17 mil laut atau 30 kilometer, kapal roro membutuhkan waktu 2,5-3 jam dan satu jam untuk kapal cepat.
Sementara jika menggunakan jembatan, waktu yang dibutuhkan pengendara untuk menyeberangi Selat Sunda sekitar 30 menit. Itu pun jika kecepatan kendaraan sekitar 60 kilometer per jam.
Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah meyakini, pembangunan JSS akan memicu pertumbuhan ekonomi di Banten dan Lampung. "Akan ada multiplier effect dari JSS, terutama bagi pertumbuhan ekonomi lokal Banten dan juga perekonomian nasional. Masyarakat sekitar juga akan menerima dampak positif, peningkatan kesejahteraan karena terbukanya akses transportasi," katanya.
Tiga pulau yang akan dilintasi JSS pun bisa diubah menjadi kawasan wisata, termasuk Pulau Sangiang di Kecamatan Anyar, Kabupaten Serang, Banten.
Dengan demikian, JSS bukan hanya bisa digunakan sebagai salah satu solusi penumpukan kendaraan, karena bertambahnya volume kendaraan yang menyeberang melalui Pelabuhan Merak. Jembatan yang sudah dimimpikan sejak tahun 1960-an itu juga diharapkan akan berguna untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.
No comments:
Post a Comment