Posted: 4 Oktober 2007
Assalaamu 'alaikum,
VCD bersampul merah itu saya dapati terserak di antara VCD-VCD lain di salah satu mall di pinggiran Jakarta, saat saya mencari VCD lagu anak-anak untuk si Paiz kecil. Yang menarik buat saya di situ tertulis bahwa VCD itu adalah sebuah film dokumenter yang pernah mendapatkan penghargaan sebagai film dokumenter di Asia beberapa tahun lalu. Harganya cuma 20 ribu-an, namun isinya cukup menggugah hati dan mengingatkan saya akan kenangan hampir 10 tahun lalu, tentang Tragedi 1998, Perjalanan Panjang Demokrasi di Indonesia.
Hampir 10 tahun lalu, tak akan pernah ada yang menduga akan terjadi suatu peristiwa maha dahsyat yang mengubah perjalanan dan hidup nasib bangsa. Pak Harto yang begitu kuat, ditakuti dan disegani, tiba-tiba letoy dan tak berdaya untuk kemudian menyerahkan kekuasaannya. Siapa nyana ini bisa terjadi. Waktu itu hampir semua orang berpikir, "hanya Tuhanlah" yang sanggup menumbangkannya, dan nyatanya ini lebih pantas disebut campur tangan Allah SWT atas nasib kita.
Saat itu saya masih merantau nun jauh di negeri utara sana. Gejolak bangsa sejak setahun sebelumnya memang mengundang kemirisan hati. Kebetulan waktu itu, saya bersama dengan teman-teman pelajar kita yang lain, nyambi kerja sebagai seorang pengantar koran (bukan penjual koran). Karena kebetulan bisa dan ngerti tulisan kanji (Chinese character), boss koran pun menghadiahi saya gratis tiap hari sebuah koran Asahi Shimbun. Tiap hari pun, terutama di tahun 1998, saya guntingi dan klipping kisah tentang bumi pertiwi. Sedih dan miris sekali saat itu, walau kini senang dan bahagia mengingat hasil akhirnya.
Di TV sana pun disiarkan bagaimana kacaunya perekonomian kita. Di salah satu supermarket, begitu pintu dibuka, puluhan orang langsung merangsek masuk, berebut membeli makanan yang tersedia, demi menumpuk makanan itu untuk kepentingan sendiri. Yang gak punya duit, barangkali cuma ngiyem aje dan siap-siap puasa. Ngenes rasanya saat telpon ke Jakarta dan ibu saya cerita bahwa beras susah didapat, dan hilang di sana-sini. Kalo ada tapi mahal, gak masalah karena bisa beli saweran dan bisa mecah tabungan. Tapi ini barangnya gak ada. Abang saya keliling Jakarta cari beras dan kemudian mensuplai ke ibu. Dengan tetangga depan rumah dan kiri kanan, ibu pun sharing beras karena semua
sama-sama butuh buat ganjal perut.
Rupiah anjlok tak terkira. Tahun 1994, saat saya mulai merantau, waktu itu yen masih sekitar 20 rupiah. Saat krismon, rupiah anjlok hingga satu yen sempat mencapai rekor 111 rupiah. Gak sedikit teman yang langsung kirim duit ke tanah air tuk bantu keluarga di sana. Hari-hari dipenuhi oleh demonstrasi, dan apalagi IMF menuntut pencabutan subsidi BBM yang menyebabkan BBM tiba-tiba melambung tinggi, mencekik rakyat yang sudah tercekik dengan kesulitan ekonomi saat itu. Di film dokumenter yang saya beli itu, digambarkan bagaimana perjuangan para mahasiswa menuntut turunnya Pak Harto dan perbaikan keadaan. Diliput pula peristiwa Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi 1 dan 2 dll. Mengharukan memang perjuangan mereka. Kadang gak tega aja liat anak muda dipukuli dan digebuki serta diinjak-injak oleh aparat keamanan meski sudah tak berdaya.
Puncaknya, Pak Harto pun turun, dan semua bersuka cita. Jalan panjang reformasi dan kebebasan terbentang di hadapan kita semua. Walau entah kenapa, yang nongol cuma hal kebebasannya saja, namun penyakit kronis KKN yang merupakan warisan jaman Pak Harto dulu, bukannya hilang malah menjadi-jadi. Sebagai seorang mahasiswa, tentunya secara pribadi sedih juga karena ingin turut merasakan suasana saat demo dulu dan saat terjadi revolusi besar bangsa sendiri. Tapi mungkin ini adalah nikmat Allah juga yang membuat saya tidak langsung berada di tempat kejadian, dan itu juga sudah garis tangan, karena boleh jadi kalau saat itu di Jakarta, barangkali saat ini gak bisa nulis email ini.
Sebelum Pak Harto turun, ada beberapa peristiwa kerusuhan yang mendahului. Liat tayangan video represif junta militer di Myanmar, mengingatkan saya akan tayangan video di VCD dokumenter itu serta pemberitaan penanganan kerusuhan di Jakarta. Gak di Myanmar, dan gak dimana-mana, apabila terjadi kerusuhan, aparat keamanan biasanya cepat datang untuk meredamnya dengan tindakan represif, apalagi kalau penguasanya adalah seorang junta militer, baik yang berpakaian militer maupun sipil. Tragedi Tiananmen 1989 adalah contoh jelas. Rakyat Cina yang berdemonstrasi ditumpas oleh Tentara Rakyat tanpa belas kasihan dan diberondong senapan mesin plus dilindas tank.
Di Jakarta, tahun 1984, ada yang namanya Tragedi Tanjung priok yang belum terselesaikan juga. Di situ massa anti pemerintah dibabat habis dengan senapan pula. Fakta yang asli memang gak pernah diungkapkan oleh junta saat itu. Namun menurut teman abang yang selamat dari tragedi itu, militer kita turun secara tiba-tiba dari truk dan memberondong senapan. Setelah beres, tiba-tiba datang beberapa truk kosong untuk mengangkut mayat yang berserakan itu. Selanjutnya dalam hitungan menit datanglah
blangwir (mobil pemadam kebakaran) untuk menyiramkan bekas darah. Dalam hitungan menit pun, semuanya selesai bagai tak terjadi apa-apa. Konon katanya mayat-mayat itu dikuburkan di daerah Kampung Rambutan sana. Sampai kini pun masih banyak yang kehilangan keluarganya karena korban diduga mencapai ratusan. Teman abang itu selamat karena nyebur ke got dan ngumpet di situ.
Kerusuhan lain pun mirip penanganannya. Aparat yang datang biasanya bukan cuma polisi yang bersenjatakan beceng pendek. Melainkan polisi anti huru-hara yang doyan "hura-hura", lengkap dengan tameng dan helm-nya. Brimob, pasukan elit polisi sudah pasti turun berikut sniper-nya. Kalau kerusuhan besar seperti tahun 1998, Militer pun, yang seharusnya cuma boleh ngelawan tentara asing yang menyerbu negara kita, ikut-ikutan hadir untuk nggebukin para demonstran. Di VCD Merah ini, dalam Tragedi Semanggi 2, tampak jelas Pasukan Elit AD dan Resimen Kala Hitam datang tuk menyerbu para rakyat pendemo, utamanya mahasiswa.
Waktu itu mahasiswa memang berdemo menentang digelarnya Sidang Istimewa. Bagi pihak otoritas saat itu, gak ada pilihan, demonstrasi harus dihentikan, karena kalo gak gitu, semuanya gak akan selesai. Masalahnya akan menggelinding terus dan membesar bak bola salju, serta negara gak tau akan dibawa kemana, karena berjalan sendiri tanpa juntrungan. Para prajurit TNI pun bernyanyi dulu bagaikan hendak pergi ke medan tempur. Setelah "menang" pun mereka bernyanyi-nyanyi. Mereka pasukan elit, tapi lawannya mahasiswa tak bersenjata, yang apalagi diserbu di malam hari. Bukan cuma benjol, babak belur iya, dan yang tewas pun ada. Seru juga liat jalan tol dan protokol di antara Semanggi dan Gedung Kura-kura menjadi ajang perlawanan aparat vs mahasiswa. TNI diturunkan karena polisi dianggap terlalu lunak dan kurang mampu meredam demonstrasi.
Weleh, tega-tegaan juga liat "perang-perangan" seperti itu. Walau yang di Myanmar kini keliatan lebih vulgar karena dah ada kemajuan teknologi perekaman. Gak tau deh gimana tahun 1965 dulu di Jakarta. Mungkin lebih serem dan mencekam kali yeee, kalo teknologi perekaman saat itu sehebat sekarang. Yang jelas, tindakan represif pihak keamanan, apalagi kalau yang turun itu militer, memang amat "brutal dan mengerikan". Bagi militer, yang namanya perintah adalah perintah, kagak ada nego-nego-an lagi. Apalagi kalo yang dihadapi lebih lemah, ya gebuk aja.
Jangan militer, sepupu tua saya yang salah satu komandan Brimob, pernah bilang langsung ke saya, saat saya berkunjung ke Komdak Semanggi dulu. Tanya saya itu anak-anak muda Brimob rame-rame pada mau kemana? Jawabnya mau nanganin demo. Tapi kenapa demo harus dengan gebuk-gebukan? Tanya saya lebih lanjut. Jawabnya, ya biarin aja, itung-itung aktualisasi training, dan biar mereka gak makan gaji buta karena cuma latihan melulu dan gak aktualisasinya. Itu baru Brimob brur, apalagi militer. Ditambah memang militer + polisi adalah "penguasa" di negeri kita yang jaman Pak Harto dulu masuk kelas ningrat dan pengen tetap beda kasta dengan rakyat banyak. Jadinya gak usah heran kalo kini aparat itu masih arogan dan sewenang-wenang. Ada masalah dikit, main gebuk. Gak ada nego uat mereka, karena memang mereka gak punya hati dan ada yang kurang otaknya.
Kerusuhan, sekali lagi biasanya ditangani secara represif sampai kini. Tapi ada satu pertanyaan tersisa yang saya belum temukan jawabannya meski sudah baca beberapa buku tentang tahun 1998. Ingat kah kita akan kerusuhan Jakarta yang akhirnya memicu perubahan radikal di negeri ini? Kata abang saya, waktu itu di dekat rumah di kawasan Cipulir ada kejadian aneh. Pagi itu di jalan Ciledug Raya, tiba-tiba, entah dari mana orang-orang berambut cepak datang dan membuat kehebohan, yang mengundang kerumunan orang banyak. Mereka memulai pengrusakan toko material dan toko-toko lainnya di situ dan memprovokasi orang banyak. The hungry man become the angry man. Rakyat yang lapar dan frustasi dengan keadaan menjadi lebih emosional dan mudah terpancing dengan provokasi itu. Mereka pun ikut-ikutan menghancurkan dan sampai akhirnya melakukan pembakaran dan penjarahan.
Yang aneh, di tengah-tengah keriuhan rakyat yang mulai bertindak anarkis, si cepak-cepak itu lalu pergi begitu saja menghilang dan membiarkan rakyat melanjutkan kerusuhan. Konon katanya kejadian ini berlangsung dimana-mana, bahkan ada etnis tertentu pun akhirnya jadi sasaran. Pembakaran, kerusuhan dan penjarahan terjadi dimana-mana. Di Ramayana Ciledug, yang jauhnya 5 km dari rumah, terjadi kerusuhan. Sialnya saat orang-orang naik ke lantai 2 dan menjarah, tiba-tiba ada yang membakar lantai dasar. Pintu Ramayana pun tertutup otomatis dan dari langit-langit keluar air yang sedikit sehingga tak sanggup memadamkan api pembakaran. Konon katanya ada 500 orang mati terpanggang di dalamnya. Sayangnya karena kejadiannya di daerah pinggiran, hebohnya masih kalah dengan Yogya Dept Store di Klender yang korbannya cuma di bawah 200 orang.
Jakarta membara, Jakarta terbakar, Jakarta kota rimba, Jakarta kota tanpa hukum, demikianlah yang saya ingat tentang headline news di koran Asahi Shimbun, yang saat itu bikin saya desperate juga, walau lega setelah tau semua keluarga di Jakarta selamat tanpa kurang satu apa pun. Jakarta dilanda kerusuhan besar, Jakarta kacau balau. Tapi taukah anda ada satu hal yang sangat mengganjal pada kerusuhan yang terjadi di saat Pak Harto ada di luar negeri dan katanya Pangab Wiranto ada di Malang itu? Keanehan itu adalah KEMANA DAN DIMANA APARAT KEAMANAN SAAT ITU BERADA?
Biasanya tiap kerusuhan, seperti yang saya tulis di atas, ditangani represif, dan kalau Polisi atau Brimob tak mampu, maka Militer baik Kodam, Marinir, Kostrad dan Kopassus dll yang akan turun langsung meredamnya. Tapi kenapa saat itu mereka bak hilang ditelan bumi? Kemanakah gerangan perginya mereka? Bukankah hilangnya mereka tak sesuai dengan pakem yang terjadi di saat kerusuhan berlangsung? Kok mereka hilang? Kok kerusuhan bagaikan dibiarkan begitu saja tanpa ditangani? Mengapa kerusuhan dibiarkan membesar? Beda sekali dengan penanganan saat kasus Tragedi Semanggi 1 dan 2 dll. Kenapa dan kenapa?
Saya coba cari jawaban yang paling logis. Sayangnya belum ketemu. Malah yang banyak adalah paparan bersifat ekposisi belaka bahwa pada saat itu ada kerusuhan besar bla bla bla, tanpa ada yang bisa menjelaskan kenapa kerusuhan dibiarkan dan tidak ditangani serta kenapa aparat keamanan bak hilang ditelan bumi, serta siapa sebenarnya dalang kerusuhan itu? Apakah aparat keamanan saat itu takut dengan rakyat hingga gak mau keluar sarangnya? Ataukah mereka malah membiarkan rakyat rusuh karena mereka berharap pemerintah yang bikin muak saat itu jatuh?
Ada rumor yang saya dapat dari teman saya. Katanya kenapa militer saat itu gak ada, karena militer punya "acara sendiri" di dekat Monas. Pak Prabowo dengan Pasukan Kopassus dan Kostrad-nya, sudah siap tempur dan berhadap-hadapan dengan Pak Wiranto yang Pangab waktu itu dan ditopang oleh pasukan Kodam daerah lain, karena Pangdam Jaya waktu itu, Pak Syafrie adalah kolega dekat Pak Prabowo.Militer punya acara sendiri, jadi mereka gak sempat ngurusin kerusuhan dimana-mana. Bahkan boleh jadi serta gak sedikit yang menuduh, entah siapa di militer, yang merekayasa kerusuhan di Jakarta, meski bukti-bukti kuat belum pernah ada. Kalau polisi, ya sudah pasti takut dengan militer apalagi kala itu mereka jadi anak bawangnya militer dan belum berdiri independen seperti sekarang.
10 tahun sudah berlalu. Sedikit banyak kini kita tahu apa hikmahnya kejadian yang berlalu. Memang rahasia masa depan adalah rahasia Ilahi, dan kita baru mengerti semuanya setelah kejadian sambil memakluminya sebagai garis tangan kita semua. Namun meski 10 tahun sudah berlalu, misteri dibalik peristiwa 1998 dan hilangnya aparat saat itu masih tetap merupakan misteri. Karena bertentangan dengan pakem yang berlaku dan logika umu, akhirnya menimbulkan tanda tanya seputar peristiwa itu. Yang tidak biasa memang selalu memancing perhatian khusus.
Adakah yang tau rahasia dibalik misteri itu? Adakah yang punya opini logis mengenai teori dari anomali 1998 itu? Walau begitu, peristiwa 1998 itu memang meninggalkan banyak arti dan itu menunjukkan Allah SWT sayang ke kita hingga, meski secara ekonomi dan sosial kita masih belum sempurna, kita bisa mencapai kondisi seperti saat ini. Misteri itu tetap misteri, seperti rentetan kejadian di tahun 1965 dan keluarnya Supersemar. Memang gak semua misteri perlu dipecahkan, apalagi kalau memang pemecahannya justru lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Meski begitu misteri tetaplah meninggalkan rasa penasaran yang membuat sebagian orang tetap menuntut jawabannya.
Adakah yang tau kunci dari misteri ini?
Wassalaam,
Papa Fariz
Web Blog: http://papafariz.blogspot.com
FS Account: boedoetsg@hotmail.com
No comments:
Post a Comment