Sunday, January 10, 2010

Spirit mudik nan menakjubkan

Posted: 10 Oktober 2007

Assalaamu 'alaikum,

Suatu ketika nun di masa lalu, saat masih tinggal di ibukota tercinta, saya sempet bingung dan mengganggap "gila" orang yang nekat mudik pas lebaran. Gimana ngga', udah tau alat transportasi kita amburadul baik dari segi kondisi dan kapasitasnya, kenapa masih nekat mudik? Itu orang di dalam gerbong kereta udah kayak ikan sarden dikalengin. Padat banget di dalam, jangan mikir kursi, lorong kereta saja udah penuh oleh orang-orang yang duduk maupun tiduran. Tapi kenapa masih pada nekat.

Bus pun gak kalah gaswat kondisinya. Belum lagi macet di perjalanan yang amit-amit jabang baby. Berjam-jam di dalam bus, yang sekali pun ber-AC, tentulah bagaikan neraka. Macet ada di mana-mana, capeknya jangan ditanya. Gak kebayang kalo kita yang dapat duduk di tengah, selagi macet abis di tol, tiba-tiba kebelet pipis. Apa jadinya yah? Harus ngelewatin "ribuan" orang sebelum sampai ke pintu bus. Kalo yang cowok masih mending. Di mana-mana bisa pipis. Kalo yang cewek, piye toh? Ataukah memang pada gak kepikiran kebelet pipis lagi yah?

Pesawat pun kondisinya sami mawon. Ngeliat terminal domestik, udah kayak ngeliat pasar malam. Padat dan riuh. Pesawat memang bukan barang mewah lagi, dan sudah banyak orang dari beragam kalangan yang merasakannya. Untuk yang pakai budget airlines, di situ gak ada nomor bangkunya. So, katanya, begitu masuk langsung pada berebutan tempat duduk. Di pesawat jenis ini, makanan gak diperbolehkan. Tapi kalo mau ngebeli di dalam, harganya ampyun, buat yang koceknya ngepas. Kapal laut pun begitu juga, kondisinya penuh abis. Makanannya katanya gak enak, sekelas makanan narapidana.

Yang gila, mudik naik motor pun jadi ngetrend dan semakin bertambah dari tahun ke tahun. Naik motor suami isteri plus 2-3 anak, di motor bebek, dengan bawaannya yang luar biasa gede. Jarak ke Semarang, Yogya dan Surabaya sekalipun, yang sekitar 500-1000 km, tetap ditempuh meski dengan muatan berlebih. Wuih, naik motor 20 km aja rasanya pantat udah jadi panas banget, apalagi 500 km, sambil bawa gelendotan yang super berat. Bahaya memang iya, namun motor punya kelebihan bisa selip sana-sini.

Mau mudik pake jalan apa pun, pakai moda transportasi apa pun, tetap saja sengsara, dan bisa dibilang "gila" bila dibandingkan dengan kondisi normal. Tapi kenapa jutaan orang demikian bela-belain untuk tetap bisa pulang kampung meskipun harus menderita dan sengsara dulu di sepanjang perjalanannya?

Hmm, setelah terdampar di negeri orang, akhirnya saya "mengerti" juga tentang arti pentingnya mudik. Memang lain berlebaran di negeri sendiri dan negeri orang. Apalagi sebagai wong Jawi, yang punya semboyan mangan ora mangan ngumpul dan enggan merantau, kehadiran Ibu, Bapak, saudara dan kerabat besarlah artinya di hari itu. Jadi ingat kenangan semasa tinggal di negeri utara dulu. Saat itu tiap lebaran, kami shalat di sekolah Indonesia atau KBRI. Bahkan yang tinggalnya di kota lain, bela-belain cabut kerja atau kuliah demi bisa ngumpul dengan sesama orang Indonesia.

Ada keharuan dan suasana tersendiri di situ. Usai sholat KBRI biasanya menghidangkan makanan gratis, yang paling gak bisa mengobati kerinduan akan masakan tanah air. Tak lupa, para operator telepon menyajikan servis telpon 3 menit gratis ke tanah air. Semua pada antri berulang-ulang. Seneng rasanya bisa denger suara ortu nun jauh di seberang sana, sambil mohon maaf dan keihklasan dari beliau, Abis itu biasanya kami jalan-jalan bareng entah kemana. Walau begitu memang lain rasanya, lebaran di antara keluarga dan para kerabat serta orang yang kita kenal.

Begitu pula yang dialami oleh para perantau dari daerah yang bermukim di Jakarta, meski sukses maupun tak sukses. Ibaratnya hidup setahun itu hanyalah demi untuk satu hari, yang namanya Idul Fitri. Sepanjang tahun, kaum kecil maupun kamu besar kerja keras banting tulang mengumpulkan uang. Uang tabungan itu dibobok saat Idul Fitri. Berlebaran di kampung sana bisa ketemu dengan orang tua, sanak saudara dan juga teman-teman sepermainan dulu. Lebaran sambil ebrnostalgia, dan memang sepahit apa pun pengalaman, toh akhirnya menjadi terlalu manis untuk dikenang.

Itulah yang saya rasakan juga ketika ada di negeri rantau. Syukurlah jiran ini jaraknya cuma 1,5 jam dari my home town, Jakarta via pesawat terbang. Gak mungkin rasanya gak pulang pas lebaran. Di negeri utara dulu gak bisa pulang karena keterbatasan waktu, dan juga pertimbangan biaya. Pertama pulang berlebaran di tanah air, setelah 10 lebaran di negeri orang, memang mengharukan. Seneng sekali bisa berkumpul dengan orang tua dan saudara. Berkunjung ke sana-sini, ke tetangga, ke teman-teman, setelah sekian lama di rantau. Ada spirit lain di situ, yang gak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Sekalipun kadang bangsa kita dibilang "jelek", ada satu nilai yang sebenarnya patut dibanggakan dari bangsa kita. Nilai itu bernama silaturrahmi, dengan kembaran dan turunannya berjulukan kekeluargaan, gotong royong, saling tolong menolong, tepo seliro dll. Itulah spirit dasar yang kita muncul, yang ibaratnya muncul dan di "refresh" kembali di hari raya nan suci itu. Termasuk di dalamnya yang terpenting spirit untuk berkumpul lagi dengan keluarga dan handai taulan. Spirit itulah yang membedakan lebaran di kampung dan di rantau. Spirit itulah yang mendorong kenapa semuanya ngebela-belain untuk tetap harus pulang kampung meski harus sengsara dan menderita di perjalanan. Ada yang hilang dan sepi, ketika kita harus berlebaran di rantau orang. Bedanya saya dan sebagian orang kita merasakan rantau itu adalah di negeri lain, sedangkan sebagian yang lain merasakan rantau adalah Jakarta.

Bagi orang yang lahir dan besar di Jakarta seperti saya, balik ke Jakarta saja sudah cukup dan keinginan untuk mudik ke tempat mbah di kampung di pedalaman Jawa sana masih kurang kuat. Beda kasus dengan orang tua saya, atau orang yang tinggal maupun besar di Jakarta, namun lahir di "Jawa" (maksudnya kota atau kampung di pulau Jawa). Rasa ingin mudik jauh lebih besar. karena di sanalah mereka dilahirkan. Sekalipun saya orang Jawa dan tetap orang Jawa, tanah kelahiran saya adalah Jakarta. Karenanya meski tetap mengaku orang Jawa, yang dirindukan bukanlah kampung mbah, melainkan Jakarta. Buat yang tinggal di Jakarta tapi lahir di daerah, apalagi orang tua masih di daerah tentulah yang dirindukan adalah daerah.

Mudik memang menyimpan banyak makna. Dan mudik meneguhkan bahwa peranan suatu kekuatan rohani alias spirit adalah begitu besar hingga sanggup menggerakkan seseorang untuk bertindak bahkan di luar batas kemampuannya sekalipun. Mudik memang menyimpan banyak cerita. Inilah yang bagi saya pribadi adalah nikmat yang besar yang susah saya dapatkan saat berada nun jauh di rantau di negeri utara sana. Kalau memang tak ada halangan sama sekali, tentulah semua orang kepengen mudik. Malah kali ini boleh jadi bukan orang yang mudik yang dibilang "gila", melainkan orang yang gak "mudik"lah yang justru dibilang gila. Walau hal ini gak berlaku lurus untuk orang yang sudah lama tinggal dan menetap di suatu wilayah di rantau, seperti misalnya orang tua kita sendiri. Spirit mudik memang menakjubkan dan mampu menggerakkan jutaan orang serta mampu mengalahkan segala rasa derita di sepanjang jalan mudik.

Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Bathin.

Wassalaam,

Papa Fariz
Web Blog: http://papafariz.blogspot.com
FS Account: boedoetsg@hotmail.com

No comments: